Aku dan Kamu
Hujan kerap meromantiskan kita ya ?
Harum permukaan bumi teratas yang basah menyerbu hidung, sakitnya bukan karena itu tapi karena dingin. Kabut kelam disertai dingin melatari cerita sore itu, ya, Bandung sedang hujan-hujannya. Dan kita sedang romantis-romantisnya satu payung berdua.
Kendati romantis satu payung berdua, aku memilih tak berpayung esoknya. Hujan-hujanan denganmu, Manis, kuramalkan pastilah menyenangkan. Guyuran air hujan membasahi tubuh rampingmu semakin tampak. Kalau mereka bilang Semesta dan Wanita adalah hal yang paling indah, Hujan dan Kamu adalah racikan keindahan tersempurna parah. Aku sedang tidak merayu, tanpa itu pun kamu rela menanggalkan pakaianmu hadapanku. Aku hanya sedang berangkuh,
“Jadi, kamu suka hujan?” tukasmu,
“Tidak, aku hanya suka diriku.” tapi sebenarnya aku tak suka kamu mengeluhkan becek mengotori kemeja putihmu atau sepatumu.
“Jadi kamu tak suka hujan?” tanyaku,
“Aku tak suka apapun selain diriku sendiri,”
“Jadi, aku ini apa?”
“Apa?” lalu kamu keluhkan air cokelat yang kotori sepatu dan ujung celana jeans selama berjalan tadi. Kamu keluhkan aku yang tak memayungimu. Kamu keluhkan awan yang menggumpal abu.
Hujan dan Hujan
Sementara aku mencoba dengan susah payah agar tak mengeluhkan apapun, meski setiap kali kita harus terpisah pun.
1.
2.
3.
Petir mewajibkan kehendak gumpalan awan abu taburkan sejuta lebih tetesannya ke bumi, di sini lah aku harus melonggarkan genggamanku padamu,
“Kamu suka hujan, kan?” tanyaku,
“Tidak,” tapi kamu tergesa melepaskan genggamanku, menyebabkan kamu sudah di tanah duluan. Disusul aku kemudian, lalu berulang kali kami terpisah karena hujan selalu jatuh ke bumi diwakili tetesan tak terbilang. Dan kami hanya tetesan-tetesan itu. Tapi mari tak keluhkan itu.
Aku dan Kamu
Aku saja bisa menyukai hujan kala memaknainya dengan kamu, mengapa kamu tidak? Huft,
Setiap harinya aku bimbang, karena biasanya mengharap hujan luruh demi kisah unik yang kutunggu-tunggu di jalan nanti. Tapi, melihatmu tak menyukainya, aku setengah berharap hujan tak turun dulu. Sayangnya musim hujan kali ini setia, ia tepat datang setiap Senin sampai Minggu.
Barusan kamu bilang mulai menyukai air langit, biar kuuji. Berjalan terus menembus hujan, tak butuh menunggu reda karena itu sama saja menunggu kotak kosong. Bajumu setengah basah, bedakmu luntur, aku terpaku. Memberhentikan jalanku.
“Mengapa terpecat?” ketika kamu menyadari aku tak menurutkan jalanmu,
“Mengapa kamu berdusta?”
“Apa?”
“Kamu bilang kamu mulai menyukai Hujan,”
“Aku tak mengeluh?”
“Kita berpisah saja. Selamat tinggal,”
Ia setengah berlari ke arahku “Kenapa tapi?”
“Kalau kamu suka Hujan, kamu tak akan mengelak ingkar tiap tetesannya.”
Aku menghindarimu, memutuskan berpisah denganmu daripada kamu keluhkan keberadaanku kelak, lebih baik kulepaskan kini. Kamu membawa sikap tergesa melepas genggamanku sejak dahulu, kamu selalu begitu, buatku meragu.
“Jadi, kamu suka hujan?” tukasmu
“Tidak, aku hanya suka diriku.”
Karena diriku adalah tetesan-tetesan yang banyak digilai pecinta petrichor itu.
“Jadi kamu tak suka hujan?” tanyaku
“Aku tak suka apapun selain diriku sendiri,”
Karena apa bedanya kita? Kita sama-sama spektrum butiran dari langit, yang kamu menetes terlebih dahulu dariku. Sama halnya dengan berpaling, kamu bisa lakukan itu dengan cepatnya mendahului aku. Kali ini....
Tetesan itu Aku
Ah itu hanya spekulasiku saja, realitanya aku menemukan Manis yang lebih aduhai darimu. Tanpa diguyur hujan pun aura seksinya menyeruak semerbak. Aku tak rela dikecewakanmu lagi kelak maka aku bersikukuh melambaikan tanganku pertanda Da-dah atau malah mengusir? Dan aku berhasil menggandeng baru. Aku menjual nama Hujan lagi.
Pilihannya selalu menyakiti atau tersakiti kan?
Kubilang aku hanya menyukai diriku sendiri,
Bandung, 30 September 2016
Zahra,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H