“Mengapa kamu berdusta?”
“Apa?”
“Kamu bilang kamu mulai menyukai Hujan,”
“Aku tak mengeluh?”
“Kita berpisah saja. Selamat tinggal,”
Ia setengah berlari ke arahku “Kenapa tapi?”
“Kalau kamu suka Hujan, kamu tak akan mengelak ingkar tiap tetesannya.”
Aku menghindarimu, memutuskan berpisah denganmu daripada kamu keluhkan keberadaanku kelak, lebih baik kulepaskan kini. Kamu membawa sikap tergesa melepas genggamanku sejak dahulu, kamu selalu begitu, buatku meragu.
“Jadi, kamu suka hujan?” tukasmu
“Tidak, aku hanya suka diriku.”
Karena diriku adalah tetesan-tetesan yang banyak digilai pecinta petrichor itu.
“Jadi kamu tak suka hujan?” tanyaku
“Aku tak suka apapun selain diriku sendiri,”
Karena apa bedanya kita? Kita sama-sama spektrum butiran dari langit, yang kamu menetes terlebih dahulu dariku. Sama halnya dengan berpaling, kamu bisa lakukan itu dengan cepatnya mendahului aku. Kali ini....