Ungkapan ‘remaja zaman sekarang’ seringkali disandingkan sengan hal-hal yang negatif. Padahal apa yang terjadi pada mereka sedikit banyak terdapat campur tangan orang dewasa. Contohnya, yang jual minuman keras dan Narkoba –termasuk yang meraciknya? Mereka orang dewasa. Yang menyediakan konten porno di dunia maya? Orang dewasa. Yang memproduksi tayangan-tayangan sampah di televisi? Orang dewasa.
Menguatkan peran keluargaÂ
Saya kira semua sepakat jika keluarga adalah pondasi utama dalam membangun mental dan karakter remaja. Sebelum mikirnya kejauhan, yang harus lebih dulu diupayakan adalah hubungan yang harmonis antara sesama anggota keluarga. Anak dengan orangtua, adik dengan kakak. Ketika anak sudah menghormati dan mencintai orangtua dengan tulus, segala nasehat akan mudah diserap dan dituruti. Semisal urusan kesehatan reproduksi meskipun tidak secara langsung diajarkan oleh orangtua (lantaran keterbatasan pengetahuan atau merasa tabu), sang anak saya pikir akan berusaha menjaga dirinya sendiri karena tak ingin mengecewakan orangtua yang disayanginya. Alih-alih berbuat negatif, mereka hanya akan fokus melakukan hal-hal yang bisa membanggakan kedua orangtuanya.
Perlu kerjasama semua pihak
Ketika ada kasus kenakalan remaja, atau kasus kriminal yang menimpa atau remaja sebagai pelakunya, boleh saja kita prihatin, gemas, jengkel sampai marah.
Setelah itu? Masa bodo, begitu.
Mendidik remaja itu tak cukup peran orangtua saja, satu keluarga saja, bahkan satu kampung sekali pun. Butuh kerja sama semua pihak. Ya orangtua, sekolah, tokoh agama, masyarakat, media dan tentu saja pemerintah. Sebab tantangan untuk melewati masa remaja di zaman sekarang jelas lebih berat. Remaja adalah generasi penerus bangsa. Kondisi remaja saat ini bisa menjadi gambaran bagaimana nasib bangsa Indonenesia kedepannya.Â
Harus sabar, tidak bisa instan
Berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun terakhir bersinggungan dengan para remaja, hal-hal yang baik tidak bisa hanya dipetuahkan. Mereka tidak suka diperintah, diceramahi apalagi dilarang-larang. Sehingga pengaruh baik harus ‘disusupkan’ pelan-pelan dan lebih dulu mereka harus merasa nyaman dengan kita. Lebih bagus jika kita bisa menumbuhkan kesadaran mereka untuk berubah, tanpa perlu ditunjuk-tunjuk harus begini dan begitu.Â
Ketika saya ingin mencairkan hubungan antara para remaja dan orang dewasa, saya cukup melibatkan para remaja setiap kali ada kegiatan kerja bakti atau gotong royong --yang pada awalnya para remaja tidak pernah ikut serta. Memang butuh usaha ekstra sampai akhirnya mereka bersedia. Saat kegiatan kerja bakti berlangsung pastinya terjadi interaksi. Satu dua kali memang masih terlihat canggung, tetapi lama-lama keakraban tumbuh juga, malah tak jarang saling melempar guyonan. Hingga tanpa disadari hubungan kedua ‘kubu’ cair dan kesalahpahaman bisa diminimalisir.Â