Bukan cuma hubungan seks dengan pacar, sebagian juga sudah mengenal dunia prostitusi. “Ke Tegallega yuk, ah, cari barang!” Istilah ‘barang’ mereka tujukan untuk wanita yang bisa mereka ajak ‘ehem-ehem’. Malah dari mereka saya baru tahu jika warung-warung serupa gubuk yang berjejer di sisi jalan desa sebagian adalah kamuflase dari prostitusi terselubung.
Mudahnya mengakses minuman keras dan NARKOBA
Ketika mereka bilang “ke tukang jamu” berarti mereka akan membeli miras. Kalau ngomong, “Mau ke apotek” berati mereka hendak membeli Tramadol atau Xanax yang kemudian mereka salah gunakan. Pengedar ganja pun bebas berkeliaran, malah menjadi bagian dari pergaulan mereka. Si pengedar ganja tersebut sudah berkali-kali ditangkap polisi tetapi tak lebih dari seminggu sudah bebas lagi. Saya sampai bingung harus melapor ke mana lagi. Sekarang si pengedar memang sudah masuk bui kembali, sudah dua bulan lebih. Seandainya kali ini sampai bebas dengan mudah juga, ya, kebangetan penegak hukumnya.
Tawuran, kenakalan-kenakalan lain yang terkadang melampaui batas, sampai tak adanya cita-cita
Terbiasa melakukan hal-hal negatif jelas berdampak buruk pada perkembangan mental. Sulit, bahkan tidak bisa, membedakan yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri atau orang lain. Segala tindak tanduk cuma atas pertimbangan emosi sesaat. Lebih jauh lagi, mereka kemudian tidak memiliki arah hidup yang jelas dan tak punya cita-cita. Bukan berarti mereka tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, mereka cuma tidak tahu cara untuk melepaskan diri dari jerat tersebut.
Kenapa, kok, bisa sampai segitunya
Jika ada kesempatan mengobrol berdua, biasanya mereka tak segan untuk curhat. Saat sesi mengobrol dari hati ke hati mereka seperti menemukan momentum untuk memuntahkan semuan beban yang sudah mengubun-ubun di kepala. Karena itu awalnya saya cuma mendengarkan, tidak berusaha membantah atau menasehati. Paling saya mengajukan pertanyaan: kenapa bisa begitu?
Ada yang mengaku cuma ikut-ikutan. Seperti saya bilang sebelumnya bahwa remaja itu mudah terpengaruh oleh sesamanya. Ucapan ‘Lu enggak merokok? Cemen lu!’ saja bisa membuat mereka seketika merokok.
Salah memilih role model pun bisa berakibat remaja menjadi salah kaprah. Saya pernah menghadapi beberapa remaja yang mengidolakan tokoh dalam film Realita Cinta dan Rock 'N Roll (filmnya sampai ada di ponsel mereka dan mereka tonton berulang). Mereka tidak peduli jika selengeannya si aktor cuma akting dalam film. Tetap saja mereka terobsesi untuk mengikuti cara berpakaian, model rambut, hingga gaya hidup bebas yang dipertontonkan dalam film tersebut –yang menurut mereka cool abis. Karakter dalam film tersebut mereka anggap gue banget.
Masalah lainnya adalah sikap masyarakat yang mulai permisif. Kakek saya bilang, “Orangtua sekarang banyak yang kalah sama anaknya.” Mungkin maksud kakek saya begini, ketika orangtua menyuruh anaknya mengaji dan anaknya tidak mau, ya sudah. Begitu saja. Padahal pendidikan agama yang salah satunya bisa diperoleh dari pengajian bisa mengerem terjadinya degradasi moral remaja. Berdasarkan pengalaman, justru dari pengajian saya mendapatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi yang mana tidak saya dapatkan dari orangtua atau sekolah. Karena memang ada beberapa kitab kuning yang membahas tentang kesehatan reproduksi, pernikahan, termasuk batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan.