Tiba-tiba tak sesuai harapan. Kabut tebal menutupi pemandangan dan semua putih. Yahhh, jadi kami hanya bisa berfoto dengan latar putih dengan atribut ala pendaki serba tertutup. Walau tak dapat sunrise, kumpulan monyet yang sedang bergelantungan disamping point view sudah menjadi hiburan kami .
Kami memutuskan turun dari pananjakan dan singgah ke warung kopi di dekat pos dingklik. Rafi dan Bang Fawad (driver satunya lagi) yang tak kuat lagi akhirnya tumbang dan tidur.Â
Sebenarnya aku juga ingin tidur sejenak tapi aku masih penasaran dengan view bromo dari atas. Dan benar, keinginanku diijabah oleh Allah. Kabut mulai hilang, panas mulai menyentuh kulitku. Aku dan Ridho langsung berinisiatif untuk naik ke tebing tanah disamping jalan.
Mataku mulai berkaca-kaca, inikah yang sering diceritakan Mak'e saat masih muda? Sebagai orang Probolinggo yang kerap membanggakan tempat tinggalnya?. Beliau beberapa kali mengunjungi tempat ini katanya.Â
Segenap rasaku bertumpah, haru dan bahagia melihat dari atas. Gunung Bathok berwarna kuning keemasan diterpa matahari dan gunung Bromo dibelakangnya dan juga gunung widodaren dibelakangnya lagi dengan kabut masih ada tipis. Sungguh indah ciptaanmu Ya Rab, ucapku dalam hati. Sontak aku langsung mengajak Rafi  sudah terbangun untuk melihatnya juga.
Melihat Bang Fawad yang sudah siuman , kami sepakat untuk turun ke bawah alias ke padang pasir bromo. Dan sebelum itu kami harus melewati jalan maut lagi yakni turunan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Sehingga semua kendaraan baik yang turun dan naik harus memakai gigi satu agar kuat. Turunan sangat terjal dan rasanya gunung bathok seperti menghampiri kami. Turunan gila bertepikan tebing batu dan jurang yang mengerikan.
Kengerianpun berakhir, kami sudah sampai si padang pasir. Trip dilanjutkan ke gunung bromo menyusuri pasir vulkanik yang cukup merepotkan. Ku genggam pasir vulkanik yang hitam, yang konon katanya menjadi sebab kesuburan tanah tanah di sekitarnya.
Sampai juga kami di Gunung Bromo dan disambut oleh Pura Poten yang legendaris. Kelihatannya pendek ya " pikirku. Tak banyak ambil waktu, aku mengajak yang lain untuk melihat kawah Bromo. Mulanya Bang Fawad nampak sangat lelah namun dia juga mau akhirnya.Â
Sepanjang pendakian, banyak kuda lalu lalang membawa wisatawan yang tak kuat menanjak. Jika mau bisa membayar lima puluh ribu. Kami berhenti dua kali untuk menghimpun kekuatan (maklum karena belum menguasai medan dan kurang latihan fisik).Â