Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Malam di Jalur Cangar (Bahaya yang Mengancam)

17 November 2020   05:38 Diperbarui: 17 November 2020   06:01 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Kembar di Jalur Cangar-Pacet (sumber: setia1heri.com)

Perjalanan itu bermula saat libur panjang diakhir Oktober lalu. Kawan-kawan berencana  untuk pulang kembali ke rumah sehabis merasakan pemandian air panas di Padusan Mojokerto. Waktu telah menunjukan pukul 17:00. Langitpun mulai redup kehilangan cahaya mentari. Senja menyapa malam yang kian detik makin gelap.

            Ilman, memimpin konvoi paling depan. Semua mengikutinya dari belakang. Konvoi motor melewati rute pacet lalu memasuki Hutan Raden Surya. Dan berakhir dikota batu, rumah salah satu rekan kami.

            "Rek jangan sampai ada yang ketinggalan ya! , saling mawas diri " begitu ujar Mas Hilmi. Rekan kami satu lagi yang paling tua.

            Dari ketujuh motor, satu motor berbalik arah dan izin melewati rute Sidoarjo karena motor  si Azam nampaknya tak kuasa berhadapan dengan tanjakan yang curam . Sehingga hanya ada enam motor yang berkonvoi.  Aku sendiri berboncengan dengan temanku yakni Alvian dengan motornya Vario merah.

            "Duh Syam, piye iki? Motorku ndak kuat nanjak" keluh alvian padaku.

            "lah terus gimana ? mau balik tah?" balasku padanya.

            "Kalo begini kita harus pake teknik" Serunya padaku.

            Ia ternyata punya siasat  tersendiri untuk melewati tanjakan. Ia membawa motornya dengan zigzag saat jalan mulai menanjak. Untung saja jalanan sepi sehingga aman dilewati oleh teknik alvian yang kreatif ini. Motor Alvian ternyata bisa menyusul rekan-rekan yang sudah ada didepan.

            "Oi rek, kita duluan yo!" ucapku pada temanku yang memakai Beat putih.

            Gapura bertuliskan Taman Hutan Raden Soeryo sudah nampak didepan mata. Kami mulai memasuki area hutan. Aku tak menyangka bila rute ini tak ada sama sekali lampu penerangan dan hanya ada rambu penunjuk jalan dipinggir yang ikut bercahaya tatkala disinari lampu motor. Aku merasakan hawa yang aneh saat memasuki wilayah hutan, hawa yang sangat berbeda dari waktu siang saat kami melewati hutan ini juga.

            Bahkan batas antara jurang dengan tepi jalan pun tidak telihat. Aku kembali mengingatkan Alvian agar tidak terlalu mengebut dijalan ini. Perjalanan makin memasuki pedalaman hutan. Hutan yang membatasi antara gunung Arjuna dan Gunung Welirang. Hutan ini memiliki vegetasi yang sangat lebat. Pohon-pohon besar menyambut setiap pengendara di pinggir  jalan. Sesekali sulur pohon menjuntai kebawah hampir mengenai permukaan jalan aspal. Sebagian pohon membentuk kanopi yang menutupi jalan dari terik matahari kala siang. Ada pula bagian jalan yang membentuk lorong dari pepohonan rimbun.

            Rintik air mulai membasahi kaca helm yang kami kenakan. Sepertinya hujan lokal telah menyambut kami. Walaupun tak begitu deras tapi sudah membuat jalan cukup licin dan dapat membahayakan pengendara motor. Alvian makin berhati-hati, begitupun aku selalu mengingatkan dia agar fokus kepada jalan.

            Jalan makin menanjak, jarak pandang terhadap jalan berkurang karena kabut muncul tiba-tiba. Semakin lama kabut makin tebal dan menghalangi penglihatan, jarak lima meter pun sudah tak terlihat akibat kabut itu. Aku mulai was-was dengan keadaan dan memerhatikan sekeliling jalanan sambil memastikan kalau motor melintas dijalan yang benar. Karena menurut desas-desus yang beredar, konon penunggu hutan suka menyesatkan pengendara agar celaka. Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada kami pikirku dalam hati.

            Jalanan gelap dan berkabut, hanya ada penerangan dari lampu Vario. Cahayanya berhamburan karena terkena partikel kabut sehingga tidak jelas. Aku memang tidak Indigo, tapi perasaanku aneh saat itu seakan-akan ada yang memerhatikan dari sudut kiri maupun kanan. Aku memutuskan untuk merapal kalimat zikir perlahan-lahan dari lidahku. Badanku mendadak menggigil padahal sudah ditutupi dengan jaket dan leher pun sudah dilingkari sarung tapi dingin ini menyeruak seluruh anggota tubuh.

            Alvian tetap fokus pada jalan, sesekali aku mengajaknya ngobrol. Sampailah kami pada titik yang sakral nan keramat yakni jembatan kembar yang tak bisa diragukan lagi keangkerannya. Motor kami tiba-tiba tak kuat menanjak, bau mesin pun menyeruak. Perlahan Alvian memaksa motornya terus menanjak dan berhasil ke titik atas jembatan. Jembatan yang berada tepat diatas sungai brantas ini konon katanya dihuni oleh sosok perempuan. Untungnya kami tak melihatnya. Meskipun begitu bulu kuduku tetap merinding dan leherku jadi kaku.

            Kami berhasil melewati hutan Raden Soeryo dan sudah masuk wilayah Cangar, Kota Batu. Tapi anehnya teman-teman belum sampai dan motor kami adalah yang pertama keluar dari hutan itu. Tertulis di smartphone ku pukul 18:28. Tepat didepan Cafe, kami menunggu rombongan lain. Alvian mengecek mesin motornya yang kepanasan. Ia mengambil seember air dan langsung menumpahkannya ke mesin. "Zzzzzzzsshshsh"  Sontak air itu langsung berubah menjadi uap.

            "kita mesti istirahat, ngademin motor sambil nunggu yang lain" ujarnya.

            Dua puluh menit kemudian, dua motor datang dan ikut mendinginkan mesin motor. Motor mereka juga beruap, tanda  sebuah pengorbanan mesin yang dipaksa untuk pembakaran bensin. Kami menunggu lama rekan kami yang tertinggal dibelakang. Demi sebuah kesolidaritasan, apapun kami lakukan.

            Pukul 18:45 , Satu motor sampai mereka adalah Mas Hilmi dan Hadi. Nampaknya mereka kelelahan menuntut motor karena tiap kali tanjakan mereka harus turun kata mereka.

            "Masih ada dua motor lagi belum datang, takutnya ada apa-apa nih rek " Kata Alvian.

            " Kita tunggu aja dulu, yang sabar gaes!, tetap yakin" Tambah Ilman.

            Pukul 19:05 , Motor merah melintas dan mereka adalah Riski dan Rafi. Dari raut mukanya mereka tampak cemas.

            " kok baru dateng, darimana aja kalian ?" Tanya Ilman

            "lha justru kita nunggu Irham dan Mas Anis yang tertinggal dibelakang rek!"  Balas Riski.

            " Terus hasilnya gimana?" Tanya Ilman Lagi.

            " Kita udah nanya-nanya orang yang lewat tapi hasilnya nihil" sanggah Rafi.

Potret Jalur yang dipenuhi vegetasi lebat ( Doc pribadi)
Potret Jalur yang dipenuhi vegetasi lebat ( Doc pribadi)

            Kami semua mulai khawatir dengan dua teman kami, Irham dan Anis yang tak kunjung datang. Opsi berikutnya, kami mencoba menghubunginya lewat gawai tapi lagi-lagi percuma. Jaringan tidak ada sama sekali. Cafe yang ada didekat kami pun tak berfungsi wifinya. Dua orang rekan kami izin melanjutkan perjalanan karena ada acara dan mereka akan menghubungi Irham dan Anis jika sudah mendapatkan sinyal. 

            Segala dugaan muncul dibenak kami. Alvian berpikir jika mereka putar arah lewat Sidoarjo. Ilman berpikir jika mereka tersesat dijalur hutan. Rafi berpikir jika mereka dibegal bandit hutan yang nongkrong diperbatasan hutan. Aku berpikir kalau mereka kehabisan bensin.

            Opsi selanjutnya, kami berusaha menanyakan pengendara yang melintas satu-persatu yang keluar dari area hutan. Tak mudah memang, karena banyak dari pengendara yang langsung tancap gas saat ditanya tanpa menoleh sedikitpun. Ada pula yang ketakutan saat ditanya oleh kami. Padahal kami bukan penjahat. Mungkin melihat temanku Alvian yang bertubuh kekar dan besar.

            Jam menunjukan pukul 19:32. Irham dan Anis masih belum kelihatan batang hidungnya. Rafi tetap konsisten bertanya pada pengendara yang melintas. Dan belum ada titik temu permasalahan. Semuanya nampak gundah dan galau. Bagaimana mereka mau kembali ke Batu? Sedangkan tuan rumah (Anis) belum ada kabarnya. Apa yang akan diucapkan orangtua Anis jika anaknya tidak ada kabar??.

            19:46. Setelah beberapa pengendara melintas ditanya, ada seorang bapak yang memboncengi istri dan anaknya. Mereka berkenan untuk ditanya dan menjelaskan ada orang yang menuntun motor dihutan.

            " Trus warna motornya apa Pak?" Tanya kami dengan serius.

            "Putih mas"

            "orangnya gemuk ndak pak?" tanyaku juga.

            "Iya mas , tadi ketemu pas ditanjakan. Kayanya  kehabisan bensin" jelas bapaknya.

            "Makasih banyak infonya pak" balas kami serempak.

            Kamipun berembug membuat keputusan yang terbaik untuk mereka. Ilman berpendapat jika harus ada dua motor yang menjemput untuk jaga-jaga.

" Kemungkinan mereka kehabisan bensin atau bocor ban. Kita butuh dua motor yang kuat nanjak dan narik motor. Nah motornya Riski sama Alvian ya?!" ucap Ilman.

Alvian akhirnya bertukar motor dengan Ilman. Aku ikut serta dengan Ilman menemaninya. Begitu pula dengan Riski dan Rafi sudah siap menjemput mereka di hutan.

"Ayo Bismillah berangkat, mudah-mudahan selamat" seru Ilman.

Dua motor tancap gas kembali masuk kehutan. Tiba-tiba muncul sekelabat bayangan.

"Eeeeeitttssss, ituuuu rek" teriak Mas Hilmi menunjuk kearah kami.

Ternyata Irham dan Anis baru muncul dari hutan bertepatan sekali dengan keberangkatan kami. Walhasil kami tidak jadi menjemputnya.

"Ya Allah Rek!!!!! Kok bisa-bisanya bikin kami cemas sih" sahut Ilman menyambut Irham dan Anis meneteskan air mata lalu memeluk mereka.

" Maaf, motor kita tadi bannya bocor sebelum masuk hutan. Mau gak mau kita balik lagi ke Pacet buat nambal Ban. Maaf banget nih rek perjalanan jadi terganggu" Anis memohon-mohon maaf. Irham hanya terdiam dan nampak kelelahan dan bingung.

" Yang penting kalian selamat rek, Hadeuhhhhhhh" Ucap Ilman terharu sambil memukul lengan Anis yang gempal lantaran geregetan.

Alhamdulillah, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Anis. Semua merasa lega atas selamatnya mereka berdua. Konvoi pun berlanjut dengan motor Irham berada paling depan dan motor Riski yang paling belakang. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun