Bahkan batas antara jurang dengan tepi jalan pun tidak telihat. Aku kembali mengingatkan Alvian agar tidak terlalu mengebut dijalan ini. Perjalanan makin memasuki pedalaman hutan. Hutan yang membatasi antara gunung Arjuna dan Gunung Welirang. Hutan ini memiliki vegetasi yang sangat lebat. Pohon-pohon besar menyambut setiap pengendara di pinggir  jalan. Sesekali sulur pohon menjuntai kebawah hampir mengenai permukaan jalan aspal. Sebagian pohon membentuk kanopi yang menutupi jalan dari terik matahari kala siang. Ada pula bagian jalan yang membentuk lorong dari pepohonan rimbun.
      Rintik air mulai membasahi kaca helm yang kami kenakan. Sepertinya hujan lokal telah menyambut kami. Walaupun tak begitu deras tapi sudah membuat jalan cukup licin dan dapat membahayakan pengendara motor. Alvian makin berhati-hati, begitupun aku selalu mengingatkan dia agar fokus kepada jalan.
      Jalan makin menanjak, jarak pandang terhadap jalan berkurang karena kabut muncul tiba-tiba. Semakin lama kabut makin tebal dan menghalangi penglihatan, jarak lima meter pun sudah tak terlihat akibat kabut itu. Aku mulai was-was dengan keadaan dan memerhatikan sekeliling jalanan sambil memastikan kalau motor melintas dijalan yang benar. Karena menurut desas-desus yang beredar, konon penunggu hutan suka menyesatkan pengendara agar celaka. Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada kami pikirku dalam hati.
      Jalanan gelap dan berkabut, hanya ada penerangan dari lampu Vario. Cahayanya berhamburan karena terkena partikel kabut sehingga tidak jelas. Aku memang tidak Indigo, tapi perasaanku aneh saat itu seakan-akan ada yang memerhatikan dari sudut kiri maupun kanan. Aku memutuskan untuk merapal kalimat zikir perlahan-lahan dari lidahku. Badanku mendadak menggigil padahal sudah ditutupi dengan jaket dan leher pun sudah dilingkari sarung tapi dingin ini menyeruak seluruh anggota tubuh.
      Alvian tetap fokus pada jalan, sesekali aku mengajaknya ngobrol. Sampailah kami pada titik yang sakral nan keramat yakni jembatan kembar yang tak bisa diragukan lagi keangkerannya. Motor kami tiba-tiba tak kuat menanjak, bau mesin pun menyeruak. Perlahan Alvian memaksa motornya terus menanjak dan berhasil ke titik atas jembatan. Jembatan yang berada tepat diatas sungai brantas ini konon katanya dihuni oleh sosok perempuan. Untungnya kami tak melihatnya. Meskipun begitu bulu kuduku tetap merinding dan leherku jadi kaku.
      Kami berhasil melewati hutan Raden Soeryo dan sudah masuk wilayah Cangar, Kota Batu. Tapi anehnya teman-teman belum sampai dan motor kami adalah yang pertama keluar dari hutan itu. Tertulis di smartphone ku pukul 18:28. Tepat didepan Cafe, kami menunggu rombongan lain. Alvian mengecek mesin motornya yang kepanasan. Ia mengambil seember air dan langsung menumpahkannya ke mesin. "Zzzzzzzsshshsh"  Sontak air itu langsung berubah menjadi uap.
      "kita mesti istirahat, ngademin motor sambil nunggu yang lain" ujarnya.
      Dua puluh menit kemudian, dua motor datang dan ikut mendinginkan mesin motor. Motor mereka juga beruap, tanda  sebuah pengorbanan mesin yang dipaksa untuk pembakaran bensin. Kami menunggu lama rekan kami yang tertinggal dibelakang. Demi sebuah kesolidaritasan, apapun kami lakukan.
      Pukul 18:45 , Satu motor sampai mereka adalah Mas Hilmi dan Hadi. Nampaknya mereka kelelahan menuntut motor karena tiap kali tanjakan mereka harus turun kata mereka.
      "Masih ada dua motor lagi belum datang, takutnya ada apa-apa nih rek " Kata Alvian.
      " Kita tunggu aja dulu, yang sabar gaes!, tetap yakin" Tambah Ilman.