Mohon tunggu...
Iman Kurniawan
Iman Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger & Jurnalis Warga

Pernah menjadi jurnalis di Surat Kabar Harian Radar Pat Petulai (FIN Group) di Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2010 sampai media tersebut resmi tutup pada tahun 2018. Saat ini mengais rezeki sebagai freelance writer dan blogger.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belum 7 Bulan Menikah Sudah Melahirkan, Siap-siap Kena Denda

4 Agustus 2020   18:37 Diperbarui: 4 Agustus 2020   18:40 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekulo | Bekulo, salah satu prosesi lamaran yang harus dilaksanakan

Sudah lama tak nongkrong di warung kopi, menyeruput segelas kopi curup. Sesekalinya nongkrong, ternyata orang-orang sedang heboh membicarakan peristiwa penggerebekan yang dilakukan oleh warga, karena sepasang muda-mudi bukan muhrim berada di dalam sebuah kost-kostan hingga larut malam, dengan pintu tertutup rapat. "Wai..bisa keno sanksi cuci kampung duo orang itu dak. Malu nian eh.." celetuk salah seorang pelanggan warung kopi. Artinya: Wah, bisa kena hukum cuci kampung dia orang itu. Malu sekali..

Cuci kampung, merupakan salah satu sanksi adat berat dalam masyarakat Rejang. Tujuannya adalah, untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan supaya tidak menjadi contoh masyarakat lainnya.

Ngomong-ngonong soal sanksi adat, masyarakat Rejang mengenal beberapa jenis sanksi, mulai dari ringan, sedang hingga berat. Apa dan bagaimana sanksinya, silakan dilanjutkan membacanya.

*****

Keberadaan suku dengan populasi terbesar di Provinsi Bengkulu ini dikenal dengan nilai kebudayaannya yang tinggi, bahkan sejak dahulu peradaban suku Rejang sudah lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Terbukti, suku Rejang sejak dahulu sudah memiliki pemerintahan sendiri.  Dengan adanya pemerintahan itu, masyarakat Rejang juga sudah memiliki hukum adat yang dipatuhi oleh penduduknya.

Suku Rejang termasuk suku tertua di Sumatera. Suku ini menyebar di lima kabupaten dalam Provinsi Bengkulu seperti, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kepahiang, Lebong dan Rejang Lebong (RL).  Peradaban maju suku Rejang tidak hanya dilihat berdasarkan hukum adatnya saja, tetapi suku ini juga sejak dahulu sudah mengenal tulis-menulis, yang dikenal dengan huruf rikung atau Ka Ga Nga, kemudian suku ini juga sudah mengenal karya seni sastra, yang diaplikasikan dalam seni bertutur. Biasanya digunakan pada saat acara-acara adat.

Kebudayaan masyarakat Rejang ini sulit untuk menerima pendapat di luar kelaziman menurut pendapat mereka. Hal ini menandakan bahwa keyakinan dan ketaatan masyarakat Rejang terhadap adat-istiadat yang berlaku sejak dahulu kala. Di sini sudah terlihat bahwa sejak zaman dahulu suku Rejang sudah memiliki adat-istiadat. Bahkan, hingga kini  masyarakat Rejang masih mempertahankan kebudayaannya. Karena itu hukum adat seperti denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga sekarang.

Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum denda terhadap pelaku zina. Dikarenakan kesesuaian tradisi Rejang dengan ajaran Islam, suku Rejang telah mengubah kepercayaan terdahulu mereka ke ajaran agama Islam. Adat Rejang, merupakan kekayaan spiritual yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta dijaga kelestariannya.

Salah seorang tokoh masyarakat Rejang dan juga Mantan Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Rejang Lebong, A Rauf mengatakan, tujuan nenek moyang terdahulu menciptakan adat istiadat yakni untuk mencipatakan kedamaian, ketenteraman, keamanan dan kenyamanan. Semua itu dikenal dengan istilah Adat Nak Beak Nioa Pinang. Karena itu, apabila terjadi perselisihan, permasalahan atau pelanggaran diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pelanggaran masyarakat Rejang disebut dengan cepalo. Mereka yang terkena cepalo ini harus akan menerima sanksi adat atau denda adat. Denda adat yang akan diberikan kepada mereka yang melakukan cepalo berbeda-beda bentuknya, tergantung dengan berat dan ringanya pelanggaran. 

Biasanya, denda yang harus disiapkan oleh pelanggar adat berupa, iben de saghen, sirih, punjung mentah, kain putih dan membayar denda yang dihitung berdasar berat dan ringannya pelanggaran dengan ria (uang dalam istilah adat rejang). Satu ria sama dengan 2 kaleng beras, kalau dirupiahkan berarti Rp 300.000. Penentuan denda adat ini tergantung dengan berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan pelaku dan hal tersebut diputuskan berdasarkan sidang adat, yang dihadiri oleh kutei (masyarakat) dan rajo (lurah/RW/RT), BMA, imam dan pemuka masyarakat.

Mereka yang menerima sanksi tidak serta merta diberikan sanksi begitu saja. Tujuan dilakukannya sidang adat ini untuk mendapatkan hak klarifikasi dari pembuat pelanggaran. Sehingga, keputusan adat yang diberikan bisa dirasakan adil dan bukan berdasarkan keputusan sebelah pihak. Misalnya terjadi pemukulan yang menyebabkan luka. Pelakunya tetap dimintai keterangan mengapa sampai terjadi. Tentu, pemukulan itu ada sebab dan musababnya.

Dalam memberikan sanksi adat ini juga ada istilah tidak berat ke atas, berat ke bawah. Maksud tidak berat ke atas, berat ke bawah contohnya, jika seseorang yang melakukan cepalo (pelanggaran) dikenakan sanksi adat berupa iben de saghen ditambah buah sirih dan denda 1 ria (Rp 300.000). 

Sedangkan Iben de saghen dan buah sirih sudah dipenuhinya, namun si pelanggar tidak mampu memenuhi denda 1 ria, hanya memiliki uang Rp 120.000, tidak mampu lagi membayar lebih. Berdasarkan kesepakatan kutei, akhirnya Rp 120.000 diterima. Sanksi adat tetap dijalankan, tidak berat ke atas, berat ke bawah, tetapi semuanya harus saling menerima. Tidak jarang, setelah sanksi adat diberlakukan banyak yang jadi saudara.

Jenis-jenis Cepalo

Ada banyak macam cepalo. Mulai dari cepalo berat sampai cepalo ringan. Di antaranya cepalo bebea (bibir) seperti Salah berbicara, fitnah, pencemaran nama baik dan sebainya, cepalo matei (mata) memandang perempuan terlalu tajam, cepalo tangen (tangan), cepalo kekea (kaki), dan cepalo lainya. Semua, ada sanksi  adatnya. Apalagi jika berzina, membunuh, mecelakai orang hingga cacat, termasuk dalam cepalo berat. Bahkan, dalam melaksanakan hajatan pun ada aturan adat yang harus dipenuhi, jika tidak mereka akan dikenakan denda adat.

Cepalo berat seperti melakukan perzinahan, pelaku dituntut harus memotong seekor kambing. Karena, darah kambing yang disemblih itu akan digunakan untuk mencuci kampung. Untuk kasus ini, sekor kambing tidak bisa diganti dengan yang lainnya. Karena yang dibutuhkan adalah darah kambingnya sebagai syarat cuci kampung. Kalau dahulu, darah kambing itu dipercikkan ke rumah-rumah warga, tetapi sekarang hal itu sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Sebagai gantinya darah dipercikkan di rumah BMA atau kantor desa/lurah.

Cuci kampung juga wajib dikenakan kepada pasangan yang belum sampai 7 bulan usia pernikahan tetapi sang istri sudah melahirkan. Namun, harus ditunggu sampai melahirkan, apakah benar seorang bayi atau bukan. Jika belum sampai 7 bulan usia pernikahannya tetapi sudah melahirkan atau bukan karena keguguran, diwajibkan cuci kampung karena diduga pasangan tersebut sebelumnya sudah melakukan perzinahan.

Kemudian, cepalo berat lainnya seperti membunuh. Untuk kasus ini ada macam pembunuhan, seperti membunuh dengan sengaja. Pelaku dikenakan denda satu bangun mayo 80  ria, kalau dirupiahkan sama dengan Rp 24 juta. Lalu ada juga membunuh tidak sengaja, pelaku dikenakan denda sesalan setengah bangun, jika dirupiahkan sama dengan Rp 12 juta. Ada juga cepalo membunuh dua nyawa, misalnya membunuh orang yang sedang hamil, pelaku dikenakan denda bangun duwei anggep atau Rp 33 juta.

Cepalo ringan yang biasanya sering terjadi di tengah masyarakat, yaitu pada saat melakukan umbung (hajatan), karena pemilik hajat tidak meminta izin kepada rajo (RT/RW). Cepalo jenis ini dikenakan denda kutei, alat mentah dan ditambah ria. 

Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran pada saat menyelenggarakan hajatan seperti, menurunkan kutei (masyarakat) tidak dilengkapi punjung dan srawo bebitei, dikenakan denda 1 ria (Rp 300.000). Lalu umbung yang dilaksanakan menurunkan kutei tetapi tidak mengadakan acara jamuan kutei dikenakan denda 2 ria. Selain itu, umbung tidak menurunkan kutei, contohnya pemilik hajat mengatakan ingin melaksanakan sedekah ala kadarnya saja, tetapi kenyataannya dia menggunakan tarup (tenda besar), musik dan sebagainya, hal ini juga dikenakan denda 2 ria. Punjung dan srawo bebitei wajib disiapkan pada saat berasan bekulo (lamaran), pendidiran tarup dan penerimaan calon pengantin dan hari pembongkaran tarup (hari meleak baso) dan pembubaran panitia.

Proses sebelum melaksanakan hajatan, terang Rauf, ahli hajat memanggil kutei (sekelompok besar atau kecil masyarakat), rajo (lurah, RT/RW) BMA, imam dan pemuka masyarakat untuk melaksanakan rapat panitia. Pada saat itu, diumumkan prasanan dan dipegang oleh kutei. Nah, pada saat pelaksanaan atau hari H, kerja diserahkan kepada masyarakat atau disebut dengan serah kumet: menyerahkan kerja ke masyarakat.

Setiap cepalo wajib diberikan sanksi. Jika terjadi cepalo, tetapi tidak diberikan sanksi adat, maka sang rajo atau BMA yang akan dikenakan sanksi adat, berupa denda dua kali lipat dari bentuk cepalo yang harus diberikan. Karena itu, cepalo wajib dilaksanakan dan tidak pandang bulu, siapapun orangnya. Jika tidak diberi sanksi, maka masyarakat boleh melaporkan ke jenjang BMA yang lebih tinggi, misalnya BMA kecamatan atau kabupaten.

Termasuk juga jika rajo salah memberikan sanksi atau tidak tepat memberikan denda. Maka masyarakat yang merasa dirugikan bisa melaporkan ke BMA jenjang lebih tinggi. Sehingga, rajo dan BMA yang diduga salah tadi bisa dipanggil, apabila terbukti bersalah bisa dikenakan denda dua kali lipat.

Denda adat, harus dibayarkan pada saat itu juga (setelah keputusan), kecuali untuk seekor kambing, biasanya pelanggar meminta tempo untuk membeli. Bagaimana jika ada masyarakat yang tidak mau membayar denda. 

Sanksi yang diberikan adalah sanksi lebih berat lagi, disingkirkan dari lingkungan masyarakat, tetapi dengan cara yang halus. Contohnya, tidak dilibatkan setiap kegiatan di masyarakat, tidak diundang waktu ada hajatan dan sebagainya. Orang itu dengan sendirinya akan tersingkir dari lingkungan masyarakat. 

Hukum adat, hampir tidak jauh berbeda dengan hukum positif di negara ini. Namun, hukum adat sudah ada sejak nenek moyang, jauh sebelum hukum positif ini ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun