Mereka yang menerima sanksi tidak serta merta diberikan sanksi begitu saja. Tujuan dilakukannya sidang adat ini untuk mendapatkan hak klarifikasi dari pembuat pelanggaran. Sehingga, keputusan adat yang diberikan bisa dirasakan adil dan bukan berdasarkan keputusan sebelah pihak. Misalnya terjadi pemukulan yang menyebabkan luka. Pelakunya tetap dimintai keterangan mengapa sampai terjadi. Tentu, pemukulan itu ada sebab dan musababnya.
Dalam memberikan sanksi adat ini juga ada istilah tidak berat ke atas, berat ke bawah. Maksud tidak berat ke atas, berat ke bawah contohnya, jika seseorang yang melakukan cepalo (pelanggaran) dikenakan sanksi adat berupa iben de saghen ditambah buah sirih dan denda 1 ria (Rp 300.000).Â
Sedangkan Iben de saghen dan buah sirih sudah dipenuhinya, namun si pelanggar tidak mampu memenuhi denda 1 ria, hanya memiliki uang Rp 120.000, tidak mampu lagi membayar lebih. Berdasarkan kesepakatan kutei, akhirnya Rp 120.000 diterima. Sanksi adat tetap dijalankan, tidak berat ke atas, berat ke bawah, tetapi semuanya harus saling menerima. Tidak jarang, setelah sanksi adat diberlakukan banyak yang jadi saudara.
Jenis-jenis Cepalo
Ada banyak macam cepalo. Mulai dari cepalo berat sampai cepalo ringan. Di antaranya cepalo bebea (bibir) seperti Salah berbicara, fitnah, pencemaran nama baik dan sebainya, cepalo matei (mata) memandang perempuan terlalu tajam, cepalo tangen (tangan), cepalo kekea (kaki), dan cepalo lainya. Semua, ada sanksi  adatnya. Apalagi jika berzina, membunuh, mecelakai orang hingga cacat, termasuk dalam cepalo berat. Bahkan, dalam melaksanakan hajatan pun ada aturan adat yang harus dipenuhi, jika tidak mereka akan dikenakan denda adat.
Cepalo berat seperti melakukan perzinahan, pelaku dituntut harus memotong seekor kambing. Karena, darah kambing yang disemblih itu akan digunakan untuk mencuci kampung. Untuk kasus ini, sekor kambing tidak bisa diganti dengan yang lainnya. Karena yang dibutuhkan adalah darah kambingnya sebagai syarat cuci kampung. Kalau dahulu, darah kambing itu dipercikkan ke rumah-rumah warga, tetapi sekarang hal itu sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Sebagai gantinya darah dipercikkan di rumah BMA atau kantor desa/lurah.
Cuci kampung juga wajib dikenakan kepada pasangan yang belum sampai 7 bulan usia pernikahan tetapi sang istri sudah melahirkan. Namun, harus ditunggu sampai melahirkan, apakah benar seorang bayi atau bukan. Jika belum sampai 7 bulan usia pernikahannya tetapi sudah melahirkan atau bukan karena keguguran, diwajibkan cuci kampung karena diduga pasangan tersebut sebelumnya sudah melakukan perzinahan.
Kemudian, cepalo berat lainnya seperti membunuh. Untuk kasus ini ada macam pembunuhan, seperti membunuh dengan sengaja. Pelaku dikenakan denda satu bangun mayo 80 Â ria, kalau dirupiahkan sama dengan Rp 24 juta. Lalu ada juga membunuh tidak sengaja, pelaku dikenakan denda sesalan setengah bangun, jika dirupiahkan sama dengan Rp 12 juta. Ada juga cepalo membunuh dua nyawa, misalnya membunuh orang yang sedang hamil, pelaku dikenakan denda bangun duwei anggep atau Rp 33 juta.
Cepalo ringan yang biasanya sering terjadi di tengah masyarakat, yaitu pada saat melakukan umbung (hajatan), karena pemilik hajat tidak meminta izin kepada rajo (RT/RW). Cepalo jenis ini dikenakan denda kutei, alat mentah dan ditambah ria.Â
Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran pada saat menyelenggarakan hajatan seperti, menurunkan kutei (masyarakat) tidak dilengkapi punjung dan srawo bebitei, dikenakan denda 1 ria (Rp 300.000). Lalu umbung yang dilaksanakan menurunkan kutei tetapi tidak mengadakan acara jamuan kutei dikenakan denda 2 ria. Selain itu, umbung tidak menurunkan kutei, contohnya pemilik hajat mengatakan ingin melaksanakan sedekah ala kadarnya saja, tetapi kenyataannya dia menggunakan tarup (tenda besar), musik dan sebagainya, hal ini juga dikenakan denda 2 ria. Punjung dan srawo bebitei wajib disiapkan pada saat berasan bekulo (lamaran), pendidiran tarup dan penerimaan calon pengantin dan hari pembongkaran tarup (hari meleak baso) dan pembubaran panitia.
Proses sebelum melaksanakan hajatan, terang Rauf, ahli hajat memanggil kutei (sekelompok besar atau kecil masyarakat), rajo (lurah, RT/RW) BMA, imam dan pemuka masyarakat untuk melaksanakan rapat panitia. Pada saat itu, diumumkan prasanan dan dipegang oleh kutei. Nah, pada saat pelaksanaan atau hari H, kerja diserahkan kepada masyarakat atau disebut dengan serah kumet: menyerahkan kerja ke masyarakat.