Salah satu permasalahan utama dalam pengelolaan tanah di Indonesia adalah ketidakharmonisan antara hak ulayat masyarakat adat dan kebutuhan pembangunan.Â
Dalam beberapa kasus, tanah adat sering kali dianggap sebagai lahan kosong yang siap dikonversi menjadi lahan produktif.Â
Hal ini terjadi karena lemahnya pengakuan legal terhadap tanah adat dalam tata kelola agraria.
Badan Bank Tanah, sebagai instrumen kebijakan, dapat menjadi jembatan antara kepentingan masyarakat adat dan pembangunan.
Dengan memperkuat pendaftaran dan pengakuan hukum terhadap tanah adat, Bank Tanah memiliki potensi untuk menjadi pelindung hak masyarakat adat.Â
Pendataan yang akurat dan transparan mengenai tanah adat perlu menjadi langkah awal.Â
Dalam hal ini, Bank Tanah dapat bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan lembaga adat untuk memastikan bahwa hak ulayat diakui dan dihormati.
Lebih lanjut, Bank Tanah dapat berperan sebagai mediator dalam konflik tanah antara masyarakat adat dan pemerintah atau swasta.Â
Dengan pendekatan berbasis dialog dan penyelesaian sengketa yang adil, konflik berkepanjangan yang sering terjadi di kawasan adat dapat diminimalkan.
Dimensi Keberlanjutan: Menjaga Ekosistem dan Budaya
Tanah adat bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga merupakan elemen penting dari ekosistem dan budaya lokal.Â
Keberlanjutan dalam pengelolaan tanah adat berarti memastikan bahwa penggunaan tanah tidak merusak lingkungan maupun menghilangkan nilai-nilai budaya masyarakat adat.