Tangerang, 29 Agustus 2015.
Saran Penulis Untuk Para Kepala Daerah: “Jangan Terjebak dengan Kebijakan Presiden” Jika terjadi lambanya penyerapan Anggaran, maka program proyek yang belum dikerjakan tahun 2015 lebih baik dijadikan SILPA saja dan jangan menjadi program proyek luncuran tahun berikutnya, hal ini sangat membahayakan secara hokum dan politis, serta control yang menjadi semakin tidak akurat.
Masalah krisis ekonomi dan terpuruknya rupiah jangan salahkan Kepala Daerah dan jangan salahkan serapan APBN dan APBD yang rendah, salahkan diri presiden sendiri.
Judul Berita-Isu diberbagai media:
- Joko Widodo Mengeluh, Luhut Panjaitan Mengancam, dan Target Serapan Tidak Tercapai “Kompasiana/ Isson Khairul-14 Juli 2015”
- Jokowi Instruksikan Gubernur Percepat Penyerapan Anggaran “Resty Armenia, CNN Indonesia Senin, 24/08/2015;
- Jokowi Minta Aparat Hukum Tidak Kriminalisasi Kebijakan “Liputan6 24 Agustus 2015”
- Kebijakan pemerintah, Presiden Jokowi meminta pemerintah daerah patuh terhadap seluruh kebijakan “24 Agustus 2015-solopos.com”;
- Banyak lagi media yang memberitakan masalah kebijakan Presiden RI “Jokowi Dodo” terhadap serapan Anggaran Belanja Negara dan Anggaran Belanja Daerah” yang rata-rata baru hanya 20 persen pada psosisi bulan Juli 2015.
Menurut saya tidak akan ada jaminan hokum dan garansi hokum kepada siapapun juga di NKRI kita ini. Negara kita adalah Negara hokum dan harus tunduk patuh dan taat azas pada aturan hokum tersebut, dan Presiden RI “Jokowi Dodo” jangan melawan hokum dan jangan melanggar hokum dan jangan melemahkan hokum, dan jangan menyalahgunakan kekuasaannya sewenang-wenang.
PENGERTIAN NEGARA HUKUM
Kata Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya. maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Penjelasan UUD 1945 mengatakan, antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Jadi jelas bahwa cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD1945 bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukanlah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan, yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat.
Presiden RI jangan salahkan kepala daerah. Kepala Daerah Kami jangan dijadikan kambing hitam “melempar kesalahan kepada orang lain”.
Melemahnya rupiah, melemahnya pergerakan ekonomi dan mengancam krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka jangan menyalahkan Kepala Daerah Kami “Gubernur-Bupati/Walikota” dengan alasan serapan APBD yang lamban dan birokrasi daerah yang lemah. Kelemahan justru ada pada diri Presiden RI “Jokowi Dodo”. Biarkan presiden melanggar undang-undang, tetapi Kepala Daerah Kami tidak boleh melanggar undang-undang.
SUNTINGAN BERITA STATEMEN JOKOWI DODO “PRESIDEN RI”.
Secara khusus Presiden menyoroti belanja APBN yang baru tercapai 50 persen dan belanja modal yang baru terealisasi 20 persen. Bahkan saat ini dana daerah yang masih mengendap di bank masih sangat besar, sekitar Rp 273 triliun.
Jokowi menyadari rendahnya penyerapan anggaran itu antara lain disebabkan masih banyaknya pejabat yang takut terhadap aparat hukum. Mereka takut dikriminalisasi ketika menjalankan proyek pembangunan. Ditambah masih adanya kinerja birokrasi yang lamban.
"Saya minta kepada semua aparat hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan. Harus ada diskresi untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan. Masalah perdata diselesaikan secara perdata, jangan dikriminalkan," imbau Presiden Jokowi melalui Tim Komunikasi Presiden di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Menurut Jokowi, permintaan itu semata demi kelancaran program pembangunan pemerintah. Bukan karena tidak mendukung program antikorupsi. Pejabat atau aparat pemerintah yang hendak melakukan terobosan atau mempercepat pelaksanaan pembangunan tidak boleh dibuat takut.
"Silahkan pidanakan sekeras-kerasnya kalau terbukti mencuri atau menerima suap," lanjut Jokowi.
ANALISA TERHADAP KEBIJAKAN JOKOWI DODO.
TEORI: Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Inti kebijakan ialah keputusan. Keputusan diambil karena ada sejumlah pilihan. Dalam pilihan tersebut, termasuk pula tidak mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak hanya ada di ranah publik. Dalam ranah swasta pun keputusan juga dikenal. Dalam mengambil keputusan atau kebijakan ada dasar hukum dan norma-norma yang harus diperhatikan.
Kebijakan itu bisa di pidana, karena Pengambil kebijakan pun terikat oleh koridor peraturan perundang-undangan dan etika.
Jadi apa yang dikatakan oleh Jokowi Dodo mengenai minimnya serapan APBN dan APBD 2015 pada posisi Triwulan Petama adalah justru ketidak mampuan Presiden itu sendiri, bahw Presiden Jokowi meminta kepada pemerintah daerah agar patuh terhadap seluruh kebijakan. Dan Presiden Jokowi pun meminta kepada aparat penegak hokum agar jangan sampai ada Tindak Kriminalisasi Terhadap Kebijakan Kepala Daerah.
Menurut saya, kebijakan Jokowi Dodo “Presiden RI” Kepala Daerah tersebut diatas sangatlah semu, dan beresiko tinggi terutama bagi daerah. Dan hokum tidak bisa menjadi serta merta digaransi oleh seseorang. Tentunya hal ini sangat berindikasi adanya dugaan korporasi “kejahatan korporasi atau kejahatan kolektif kolegial” yang diduga dipimpin Presiden RI “Jokowi Dodo”, dan apa bedanya dengan statemen Sekda Banten “Red; Kurdi Matin” yang membuat statemen “RAMPOK APBD” diunggah ke youtube?.
KOLEKTIF KOLEGIAL “Berjamaah”.
Apakah suatu kebijakan yang diambil secara kolektif kolegial, bila dengan salah satu pejabatnya terindikasi melakukan perilaku koruptif, kemudian dapat ditimpakan pertanggungjawaban pidananya kepada pejabat lainnya? Dalam ilmu hukum, pertanggungjawaban tergantung dalam ranah hukum terhadap apa perbuatan yang dilakukannya. Dalam hukum perdata dikenal tanggungjawab renteng atau kolektif kolegial bila keputusan diambil dalam suatu unit yang terdiri dari sejumlah orang. Para anggota direksi bertanggungjawab secara tanggung renteng atas keputusan yang diambil. Sedangkan hukum pidana “Tindak Tipikor” tidak mengenal tanggung jawab kolektif kolegial karena kejahatan dibebankan pada individu yang melakukan kejahatan.
YANG PERLU DIKETAHUI OLEH PRESIDEN RI “JOKOWI DODO”.
Yang perlu diketahui oleh Presiden RI “Jokowi Dodo” dalam penanggungjawab APBD adalah sbb:
- UUNo 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
- UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
- UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
- PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
- Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
ANALISIS
Dalam pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Daerah, nyaris yang bertanggungjawab adalah; Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Mereka mereka para prkatisi PNS “Pegawai Negeri Sipil” yang sering menjadi korban masalah tindakan hokum hingga sampai ke jeruji besi “Penjara”. Sedikit saja mereka berbuat salah dan kesalahan “Walaupun Tidak Signifikan kerugian Negaranya” mereka sudah pasti akan menjadi pesakitan di pengadilan. Baik diperiksa oleh Kepolisian maupun oleh Kejaksaan. Dan terkadang mereka menjadi sarang empuk ATM pemerasan oleh oknum aparat penegak hokum “urusan harga ayam bisa menjadi harga sapi”.
Belum lagi para praktisi PNS tersebut didaerah dihadapkan dengan berbagai ragam pemeriksaan oleh Irjen - BPK dan BPKP yang metode dan pendekatan pemeriksaannyapun berbeda-beda, sehingga membuat kesan jenuh para praktisi PNS di daerah untuk melayaninya. Inilah yang salah satu diantaranya membelenggu PNS dan Kepala Daerah. Termasuk segudang peraturan dan perundang-undangan yang harus dikerjakan oleh Kepala Daerah dan Praktisi PNS.
PERTANYAAN KUNCINYA ADALAH:
Atas kebijakan kepala daerah: Contohnya: Ketika ada unsur sedikit kesalahan dalam proses adminitrasi keuangan atau tender PBJ yang tidak signifikan dampak kerugian kepada negaranya/kerugian daerah.
- Apakah Presiden “Jokowi Dodo” Mau Bertanggungjawab Ketika Kepala Daerah – PNS melakukan kebijakan “termasuk diskresi” dan terindikasi adanya sedidkit kesalahan, dan sedikit kesalahan tersebut kemudian berujung pada tindakan hokum “dikriminalisasi”, apakah Presiden mau bertanggungjawab?;
- Presiden Punya Masa Bakti. Apakah ketika Presiden Jokowi Dodo telah selesai masa baktinya, kemudian adanya sedikit kasus kebijakan seperti contoh tersebut diatas tidak akan dinganggu atau tidak akan dikriminalisasi oleh aparat penegak hokum? Begitupun juga ketika aparat penegak hokum berganti pimpinan apakah kebijakan aparat penegak hokum tersebut akan tetap menjamin tidak aka ada sanksi dikriminalisasi hokum kepada Kebijakan Kepala Daerah dan PNS?;
- Dan Begitupun juga Kepala Daerah Punya Masa Bakti. Apakah ketika selesainya masa bakti kepala daerah tersebut akan masih bisa menjamin ULP-PPK tidak terkena sanksi hokum atau dikriminalisasi atas adanya indikasi atau dugaan sedikit kesalahan yang pernah dilakukanya oleh ULP-PPK?;
Sebenarnya bagi Kepala Daerah dan Bagi Praktisi PNS adalah bukan pada persoalan lemahnya kepemimpinan dan lambanya birokrasi di daerah sehingga penyerapan Anggaran menjadi lamban, tetapi lebih kepada keterbelengguannya Kepala Daerah dan PNS terhadap banyaknya peraturan dan perundang-undangan yang kurang jelas dan membingungkan daerah, termasuk Perpres Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah. Perpres tersebut seperti malaikat si pencabut nyawa “menakutkan”.
Belum lagi rong-rong-ngan oleh perilaku oknum Wartawan Boderek – Oknum LSM Boderek – Oknum Aparat Penegak Hukum, Terkadan ada indikasi kerjasama antara oknum aparat penegak hokum dengan oknum wartawan boderek dan oknum LSM boderek, yang tujuannya adalah untuk memeras dan menaku-nakuti “mengancam PNS”. Sehinga timbul indikasi dugaan kuat bahwa Kepala Daerah dan PNS menjadi Ladang ATM.
Sekali Lagi. Saran Penulis Untuk Para Kepala Daerah: “Jangan Terjebak Dengan Kebijakan Presiden” Jika terjadi lambanya penyerapan Anggaran, maka program proyek yang belum dikerjakan tahun 2015 lebih baik dijadikan SILPA saja dan jangan menjadi program proyek luncuran tahun berikutnya, hal ini sangat membahayakan secara hokum dan politis, serta control yang menjadi semakin tidak akurat.
Masalah krisis ekonomi dan terpuruknya rupiah jangan salahkan Kepala Daerah dan jangan salahkan serapan APBN dan APBD yang rendah, salahkan diri presiden sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI