Mohon tunggu...
Jamson Tampubolon
Jamson Tampubolon Mohon Tunggu... -

good man

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Dengarkan DPD, Jika Tidak, Bubarkan

15 Juli 2015   17:30 Diperbarui: 15 Juli 2015   17:45 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenalkan, Nama Saya DPD RI

DPD? Apa ini? Dikalangan masyarakat bawah, mulai dari dusun, desa, lingkungan terpencil di Indonesia, masyarakat pada umumnya hanya mengetahui yang namanya pejabat itu kalau bukan presiden, DPR, gubernur, walikota, dan bupati. Yang ironinya lagi, masyarakat tersebut bahkan tidak bisa membedakan mana DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kata “Dewan” ya… pasti ‘mereka’ berfikir itu adalah DPR.

Nah, kita masuk ke topik, yakni DPD. DPD merupakan singkatan dari Dewan Perwakilan Daerah, yang mana jika melirik kenomenklaturan lembaga di Amerika Serikat, maka DPD sama dengan SENATOR secara nomenklatur. Namun, apakah Senator di Indonesia punya wewenang yang sama dengan Senator di Amerika? Jawabnya Tidak.

Di Amerika Serikat, Senator memiliki wewenang dalam proses check and balance terhadap House of Representative (DPR). Senator terdiri dari 100 senator dengan 2 senator mewakili tiap negara bagian.  Sebelum tahun 1913, senator dipilih oleh legislatif.  Namun hal ini berubah sejak amandemen ke 17 yang menyatakan bahwa senator dipilih oleh masyarakat daerah yang diwakilinya.  Dalam konstitusi Amerika Serikat tertulis syarat untuk menjadi senator yaitu warga negara Amerika Serikat selama minimal 9 tahun, berusia minimal 30 tahun, dan merupakan penduduk selama minimal 7 tahun dari daerah tempat pencalonannya.  Tiap negara bagian diwakili 2 senator.  Senator dipilih tiap tahun genap.  Senator dibagi menjadi 3 bagian.  Setiap 2 tahun, tiap satu bagian menjalani pemilu ulang.  Sebagai contoh senator yang dipilih pada tahun 2006 akan mengikuti pemilu ulang pada 2012, senator yang dipilih pada tahun 2008 akan mengikuti pemilihan ulang pada tahun 2014, dan senator yang dipilih pada tahun 2010 akan mengikuti pemilu ulang pada tahun 2016.  Sistem ini diberlakukan untuk menghindari kecurangan dan memberikan kesempatan yang sama bagi tiap senator. Dalam tulisan http://shafira-e-y-fisip11.web.unair.ac.id/artikel.

Di Indonesia, sejak reformasi (sesudah amandemen), saat ini ada 7 lembaga tinggi negara yakni Presiden dan Wakil Presiden RI, MPR RI, DPR RI, DPD RI, MA RI, MK RI, dan BPK RI. Dari posisi tersebut, DPD RI jelas memiliki kiprah serta eksistensi yang seharusnya sama dengan 6 lembaga lainnya. Maksudnya sama tidak harus kewenangannya, namun perlakuan (dalam hal menyatakan pendapat secara konstitusi) terhadapnya. DPD RI merupakan produk aspirasi rakyat, karena dipilih sama – sama dengan DPR RI waktu pemilu. DPD RI mewakili aspirasi daerah yang tentu aspirasi daerah tersebut termuat juga aspirasi rakyat. DPR RI mewakili aspirasi rakyat seluruh Indonesia akan tetapi dalam pemilihan diwakilkan berdasarkan dapil (daerah pemilihan).

 

DPR Versus DPD, Siapa Yang Didengar?

Anggota DPR RI setiap provinsi berbeda – beda jumlahnya, namun jumlah keseluruhannya adalah 550 orang sesuai dengan Pasal 47 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (pemilu). Sedangkan untuk masing – masing daerah di patok berdasarkan jumlah penduduk, sehingga di Sumatera Utara hanya memiliki 30 orang anggota DPR, sedangkan di Jawa Barat bisa mencapai ratusan anggota DPR. Tentu hal ini membuat adanya perebutan ‘kekuasaan’ oleh Partai Politik di daerah dengan jumlah anggota DPR yang akan terpilih lebih banyak. Menyinggung sedikit tentang dana aspirasi oleh DPR, jikalau sempat terjadi per anggota 20 Milyar, maka dana aspirasi akan terkumpul di Pulau Jawa semua, sedangkan Provinsi Bangka Belitung yang hanya memiliki 3 orang perwakilan anggota DPR hanya dapat 60 milyar.

Anggota DPR yang dimotori oleh Partai Politik tentu akan menyampaikan ‘kepentingan’ partai (merujuk kepada “petugas partai). Sehingga jika dalam paripurna, ada hal – hal yang hendak diputuskan maka lobi politik sangatlah mudah dan teratur. Jika saat ini di Senayan terdapat 8 partai politik yang memenuhi parliementary threshold (batas minumum suara partai) maka sewaktu lobi – lobi sangat mudah bukan? Artinya pimpinan sidang beserta ketua fraksi (pimpinan anggota DPR tiap partai dalam parlemen)-lah yang berkonsultasi. Karena apa pendapat Ketua Partai, Ketua Praksi, seharusnya diikuti oleh anggota DPR. Jika melawan, akan disebut melanggar kode etik partai dan bisa di pecat (PAW = pengganti antar waktu) oleh Partainya sendiri. DPR ini menurut saya tidak mewakili aspirasi rakyat karena selalu mengikut kepada “PETUNJUK KETUA”. DPR punya senjata kepada presiden dan menteri – menterinya, dimana mereka memiliki HI (hak interpelasi), HA (hak angket), HMP (hak menyatakan pendapat), jika HMP dikeluarkan dan disetujui separuh anggota DPR? Presiden jatuh. Mungkin inilah pertimbangan bahwa Presiden dan Wakilnya harus mendengarkan Aspirasi DPR.

Anggota DPD RI setiap provinsi sama jumlahnya, walapun di Jawa Barat penduduknya puluhan juta di Papua hanya ratusan ribu, tetapi jumlah senator ini sama hanya 4 orang. Senator ini mendaftar secara independen tidak mewakili partai politik. DPD mulai lahir sejak pemilu 2004, jadi usianya sekitar 11 tahun kurang. Jadi secara usia manusia, wajarlah DPD TIDAK DIDENGAR, karena masih anak – anak yang hendak beranjak dewasa. Anggota DPD dipilih bersama – sama dengan DPR sewaktu pemilu. Gedung kerja DPD RI sampai saat ini masih menumpang dengan gedung MPR dan DPR RI (namun mereka tidak berani tegas meminta agar ada anggara untuk gedung DPD RI), baru – baru ini, Irman Gusman, Ketua DPD RI meminta anggaran 21 Milyar ke Jokowi guna pembangunan kantor DPD RI di 33 provinsi di Indonesia, belum di jawab presiden, anggota Irman di DPD sudah menolak keras. Di DPD, kata “LOBI” politik itu ‘adem – adem wae’ maksudnya bisa susah bisa gampang tergantung isi dari 132 kepala senator. Wow? Bayangkan jika di DPR cukup melobi 8 Pimpinan partai politik, jika di DPD harus melobi 132 kepala senator. Pusing tidak? Jelas merepotkan.

Soal Hak, DPD hanya punya hak, Mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rancangan undang-undang, Memberikan pertimbangan kepada DPR tentang pemilihan anggota Badan Pemeriksa Kewangan (BPK), Mengawasi pelaksanaan undang-undang. Jika saat ini saya adalah Presiden, DPD “Ngapain” didengarkan? Toh, tidak ada urusannya dengan Anggaran Presiden (APBN). Jadi jelas, DPD hanya Aktor ‘Pelengkap Penderita’ Lembaga Tinggi Negara di Indonesia. wikipedia

 

Momentum Revolusi Mental Jokowi Ada Di DPD

Tag line #saatnyaDPDdidengar terasa lucu dan menggelikkan batin. Mengapa tidak? Sebuah lembaga tinggi negara saja meminta tolong agar didengarkan, bagaimana lagi dengan rakyat kecil? Rakyat jelata? Yang notabene pendidikannya rendah. Sedangkan para senator yang mengenyam pengalaman dan rata – rata berpendidikan tinggi juga mengeluh tidak didengar? Negara macam apa ini? Apakah DPD hanya sebuah Dagelan reformasi? Yang tugasnya hanya untuk lucu – lucuan?

Saya sengaja mengatakan ‘tugas’ DPD hanya lucu – lucuan, toh capek – capek keluar masuk kampung tak ada yang dengar. Jangankan pemerintah pusat didaerah saja kalau Anggota DPD itu berkunjung dan menyerap aspirasi pasti selalu pertanyaannya, “Bapak ini dari Partai Mana?” ini menunjukkan bahwa kiprah DPD tidak eksis namun pada faktanya kita lihat saja pasca pemilu 2014, DPR atau DPD yang menghiasi pemberitaan positif di media – media. Mulai dari pemilihan pimpinan dewan, seorang calon ketua DPD harus melobi sedikitnya 129 kepala manusia, tidak terjadi kericuhan yang berarti. Sedangkan di DPR sampai terjadi yang namanya DPR Tandingan. Ini ada apa? Apakah wakil rakyat ini ‘digaji’ hanya untuk lucu – lucuan saja.

DPD saat itu langsung gerak cepat, dalam waktu singkat alat kelengkapan dewan terbentuk tanpa ada perpecahan diantara anggota. Di DPR, sampai tulisan ini diterbitkan, mudah – mudahan permainan ‘kucing – kucingan antar partai masih berlangsung’.

Saya jadi teringat, seorang anggota DPD berkata “pak, kami kemana – mana kalau meninjau atau sidak, banyak media yang meliput, tetapi tak satupun yang terbit” lalu si wartawan menjawab dengan singkat, “DPD pak gak ‘ngegigit’ kalau diberitakan, karna ga ada yang tersinggung, kalo DPR kan ada Partainya”. Di kasus ini saja DPD sudah kalah didengar. Padalah kita ketahui bersama, pemberitaan itu penting agar masyarakat mengetahui dan mendapatkan informasi yang berimbang melalui kegiatan berkunjung, menerima aspirasi, dan lain sebagainya.

Seperti tertulis diatas tadi, DPD ‘diabaikan’ karena dianggap tidak punya ‘taring’ dalam pemerintahan, DPD memang ikut membahas anggaran tetapi hanya memberi pertimbangan dan tidak bisa ikut membahas secara detail. Membuat undang – undang, tetapi hanya mengusulkan ke DPR. Bikameral? Secara dejure iya, secara defacto? Jawab sendiri ya…

Jokowi harus memaknai intuisinya dalam menjalankan pemerintahan kedepan. Jika jargonnya Jokowi adalah Revolusi Mental, maka yang punya peranan untuk melaksanakannya adalah DPD bukan DPR. Mengapa?

  1. DPD mewakili daerah yang tentu didalamnya ada rakyat (masyarakat).
  2. DPD tidak beraviliasi kepada partai politik (kepentingan kelompok), mereka memiliki kepentingan daerah.
  3. DPD tidak mudah untuk diatur oleh penguasa (kaum kapitalis) karena suara Ketua DPD belum tentu diterima seluruh (separuh) anggota DPD.
  4. DPD fokus mempersatukan daerah Indonesia, sedangkan DPR fokusnya hanya kepada “budgedting”.
  5. DPD bekerja untuk rakyat dan daerah, sedangkan DPR bekerja untuk rakyat dan partai (ingat : Petugas Partai).
  6. DPD mencakup kepentingan daerah (fokus dalam provinsi) DPR ‘semuanya’ dikerjakan terakhir “tidak fokus”.
  7. DPD hasil reformasi

Cukup 7 alasan dari saya untuk Presiden Jokowi karena beliau merupakan presiden Ke – 7 Republik Indonesia.

Jika Jokowi dalam 5 tahun berjalan ini mengajukan RUU yang mengatur tentang DPD memiliki Kesamaan Hak dan Kewajiban dengan DPR. Maka ini adalah bentuk penghargaan besar Presiden kepada Daerah, Jokowi dengan janji kampanyenya akan mementingkan daerah, tentu harus mendengarkan DPD. Karena wakil daerah (rakyat) yang independen ‘tanpa’ kepentingan partai adalah anggota DPD bukan DPR. Jokowi yang didukung dengan semua staf ahli bahkan ada pula yang namanya staf kepresidenan, maka bukanlah hal yang sulit untuk mengkaji RUU tentang penyamaan Hak dan Kewajiban DPR – DPD, jika hal ini tercapai, maka dipastikan semua ‘mafia politik’ akan mulai berfikir keras dalam ‘mempermainkan’ anggaran yang selama ini sudah menjadi rahasia umum untuk kita ketahui.

Selain memberikan dukungan kepada DPD, Jokowi juga punya kesempatan untuk membubarkan DPD. Alasannya, karena DPD ‘didengar’, bagaimana DPD mau didengar karena mereka tidak memiliki hak untuk menentukan anggaran (APBN) tentu akan dianggap sebagai Aktor pelengkap penderita pemerintahan. Jokowi tentu harus merespon ini, jika masih seperti ini (kedudukan DPD) bubarkan saja. Pak Presiden tinggal mengusulkan ke DPR.

Bubarkan DPD

Jika Presiden mengusulkan kepada DPR RI tentang pengusulan pembubaran DPD atau tentang penyamaan hak dan kewajiban DPD dengan DPR. Saya Jawab, DPR lebih memilih pembubaran DPD. Mengapa? Jika DPD dan DPR memiliki hak dan kewajiban yang sama maka kepentingan partai tadi akan terganggu, sehingga ketua partai ‘pasti’ memberi perintah ke anak buahnya untuk menerima RUU dari Presiden untuk membubarkan DPD. Jadi jelas, palunya sekarang ada pada Presiden RI yang saat ini adalah Joko Widodo yang menurut rakyat Indonesia adalah Presiden yang lahir dari rakyat dan daerah. Sekali lagi, Jokowi Dengarkan DPD, atau Tidak? Bubarkanlah.

 

Salam Kompasiana

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun