Pettatua biasa disapa Tuan Haji. Dia saudagar dan pelaut ulung cukup lama berlayar ke berbagai negeri di kawasan Laut Sulawesi, dan pesisir Asia Tenggara hingga ke India dan Arab Saudi.
"Jadi tenang saja. Kau tidak perlu khawatir selama berada di kota ini, meskipun orang-orang mengetahui siapa sebenarnya engkau. Tidak ada yang berani mengusik," ucapnya lagi.
"Ya. Harap maklum kalau aku khawatir karena ini kali pertama ke kota ini, belum tahu situasi," sambungnya.
"Ya... ya aku maklumi."
Tuan Haji tersenyum merespon tamunya. Bukan sekadar mesti dilayani secara baik, melainkan tanggungjawab membantu segala urusan tamu. Tamu istimewa itu datang untuk persiapan pernikahan beberapa bulan ke depan.
Rumah panggung bertiang kayu ulin dan berdinding papan berukiran milik Pettatua itu hanya dua ratus meter dari pelabuhan. Tidak pernah sepi kunjungan tamu-tamu asing dari berbagai negeri. Seminggu lalu dua saudagar dari India menumpang di rumah itu. Ini kali tamu dari Mindanau, putra sahabat sejatinya sejak lama.
Di ruang tamu itu mereka bercakap-cakap saling menanyakan kabar hingga satu teko kopi sudah kandas. Waktu terasa cepat berputar hampir jam dua dini hari. Setelah makan dan minum, tamu-tamu itu menempati kamar yang disediakan.
Sepekan lamanya tinggal di rumah Pettatua, Syariful pamit pulang ke negerinya. Segala kebutuhan lamaran telah disepakati Pettatua bersama orang tua Rafiah. Jarak rumah Pettatua dengan rumah Rafiah hanya berjarak puluhan meter tak jauh dari pelabuhan.
***
Hari-hari berlalu silih berganti. Waktu begitu cepat berputar. Tiga bulan berlalu. Rombongan keluarga putra Mindanau tiba di pelabuhan Donggala. Satu per satu mereka turun dari kapal layar yang ditumpangi. Jumlahnya puluhan orang laki-laki, perempuan dan anak-anak ikut dalam rombongan.
 Peti-peti kayu berisi cendermata dan mahar pernikahan diturunkan dari atas kapal. Syariful yang berkapaian jubah putih dilengkapi ikat kepala warna keabu-abuan, didampingi kedua orang tuanya.