"Janji apa lagi yang ingin engkau sampaikan?" tanya Rafiah iseng dan sedikit bergurau.
"Janji menuju ke arah depan dengan mengarungi lautan yang lebih luas," jawab sang pemuda sekenanya.
"Aku kira jarak yang jauh engkau tak mungkin menepati."
"Jarak bukan penghalang bagiku. Kalau saja jarak itu adalah sekat, tidak mungkin aku duduk di sini."
Rafiah tersenyum sambil mengangguk. Artinya membenarkan ucapan itu. Pelayaran dari Mindanau ke Donggala berhari-hari bukan hanya mengandalkan nyali, tapi mampu membelah kepungan gelombang ganas dengan cinta. Cinta mengalahkan segala hambatan sekalipun badai mengadang.
***
Di rumah Pettatua, sesepuh negeri itulah Syariful tinggal selama berada di Donggala. Tidak ada yang berani mengganggu bagi siapa pun. Pejabat hingga segala lapisan sangat hormat padanya. Belakangan sang ulama itu jadi tempat orang minta pandangan apa saja.
     "Biarkan saja persiteruan itu terjadi. Itu urusan di laut. Kita sekarang berada di daratan. Biarkan saja persoalan di laut mereka selesaikan. Engkau tetap saja berada di sini selama beberapa hari. Di kota ini banyak orang dari negerimu yang menetap dan mereka tidak lagi kembali ke Mindanau," Pettatua berkisah setengah menasehati Syariful seperti anaknya.
"Sesungguhnya aku berkeinginan berada di kota ini lebih lama, tetapi melihat situasi yang tidak tenang, aku khawatir kalau terjadi lagi kekacauan," tanggapnya masih ragu.
"Ah! Tidak perlu takut. Jangan ragu. Aku menjamin sekalipun terjadi kekacauan," tegas Pettatua meyakinkan.
Syariful dan pengawalnya mengangguk meyakini ucapan sesepuh itu. Di wajah para tamu terbersit rasa kagum terhadap tuan rumah. Nada bicaranya tegas dan berani. Sosok laki-laki berusia paruh baya itu postur tubuhnya kekar penuh wibawa. Dua orang anak buahnya tidak bicara, hanya ikut mendengar jalannya percakapan.