"Ya, mimpi... Tapi ternyata tidak...Sebab kanda sekarang ada di sini akan menyulam janji itu."
"Begitulah kesetiaan sejati. Lautan yang bergelora tiada artinya dibanding kesetiaan itu. Jarak bukan halangan bagiku," ucap Syariful sedikit klise.
Syariful makin mendekat ke hadapan sang putri seraya menarik tangannya. Sedikit gemetar jari-jari lentik putri itu. Antara mengelak dan membiarkan tangan lembutnya dijamah. Terkulai dalam genggaman sang putra bajak laut. Gemetar dan dingin seperti bunga putri malu yang layu ketika disentuh. Pelan-pelan, Syariful kian menggenggam tangan lentik itu membuat si empunya sedikit pasrah sambil menahan denyut jantung makin terpacu.
Percakapan keduanya seperti berteka-teki dan sesekali hening.
"Biarlah kalau engkau lupa yang dulu kuucapkan. Sekarang kuingatkan kembali," Syariful memulai lagi pembicaraan.
"Berati mimpi itu akan jadi nyata?"
"Ya... Aku akan menyulam mimpi jadi nyata. Kalau saja ucapan itu dipegang baik-baik, pastilah mimpi itu bukan hayalan apalagi bualan," sang pemuda itu sedikit berfalsafah.
"Serius sekali!"
"Ya, tentulah serius!"Â
Sambil beranjak dari bangku kayu yang reok, sang putri berbalut kain sutra itu kembali diam. Sukmanya masih bergejolak.
Ini bukan kali pertama jumpa. Sejak keduanya masih belia sudah menjalin persahabatan. Meskipun lama tak bersua, memori rindu masih terpatri. Kedua orang tua mereka pun sejak lama bersahabat dan sepakat menjadi saudara abadi. Dulu, mereka pengarung samudera beribu-ribu mil jauhnya. Berbagai negeri telah dijelajahi.