Perubahan iklim menjadi salah satu isu global yang perlu penanganan serius saat ini. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatasi isu global tersebut yang salah satunya melalui kebijakan fiskal yang inovatif. Salah satu kebijakan fiskal yang akan segera terealisasi adalah penerapan pajak karbon. Kebijakan ini mempunyai misi utama dalam menekan eksternalitas negatif dari hasil bahan bakar fosil dengan mengenakan beban finansial kepada para pelaku usaha yang menghasilkan emisi.Â
Akan tetapi, kebijakan yang telah direncanakan berlaku sejak tahun 2022 ini menghadapi penolakan dari berbagai pihak terutama dari para pelaku usaha. Hal ini didasari karena kebijakan pajak karbon akan meningkatkan biaya produksi terutama bagi sektor yang bergantung pada bahan bakar fosil. Harga produk akan cenderung meningkat terutama di jangka pendek. Alhasil, daya saing produk industri juga dapat menurun baik di pasar domestik maupun internasional.
Di tahun 2021 lalu, ketika berita rencana penerapan karbon sedang naik-naiknya, para pelaku usaha dan asosiasi mengajukan penolakan dan meminta pajak karbon dihapuskan dari RUU KUP. Hal tersebut disampaikan langsung di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR RI. Para pelaku usaha juga meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan skema perdagangan karbon digunakan sebagai alternatif pengurangan karbon. Alasan terbesar yang mendasari penolakan dari para pelaku usaha dan asosiasi tersebut adalah karena kebijakan pajak karbon dapat mengancam daya saing industri dan kenaikan biaya produksi. Mereka juga mengeluhkan karena di tengah kondisi daya beli yang masyarakat yang rendah dan didukung dengan produk impor yang murah akan menggerus keberlanjutan industri di Indonesia.Â
Pajak karbon merupakan salah satu kebijakan penting yang digagas oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah emisi karbon dan mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Kebijakan ini sudah disahkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh DPR RI. Namun, kebijakan yang direncanakan berlaku mulai April 2022 ini, diundur penerapannya hingga 2025.Â
Lantas, keputusan pemerintah untuk menunda penerapan pajak karbon ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah karena faktor seperti kesiapan infrastruktur dan dampak dari penerapannya terhadap ekonomi? atau hanya dalih pemerintah, karena adanya penolakan dari beberapa pelaku usaha? berikut beberapa alasan yang logis dari penundaan pajak karbon
Faktor Utama Penundaan Pajak Karbon.Â
Pertama, Ketergantungan Tinggi Indonesia pada Energi Fosil. Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam, sebagai penyumbang utama emisi karbon. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), Penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi konsumsi energi di sektor Industri di Indonesia, dengan batubara menyumbang lebih dari setengah permintaan pada tahun 2022.
Peralihan ke energi terbarukan pastinya memakan waktu dan juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah harus mengurangi ketergantungan ini tanpa mengganggu stabilitas pasokan energi nasional, yang pastinya bukan hal mudah untuk pemerintah. Sektor industri dan transportasi di Indonesia menjadi konsumen energi terbesar yang menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil yang masih tinggi.
Kedua, Adanya penolakan dari sektor perindustrian. Banyak sektor industri menilai pajak karbon akan menaikkan biaya produksi secara signifikan dan mengurangi daya saing produk mereka di pasar global. Industri padat energi, seperti manufaktur dan pengolahan bahan baku, menjadi kelompok yang paling menolak kebijakan ini, karena mereka khawatir kebijakan ini justru akan melemahkan kontribusi sektor mereka terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid, pengenaan pajak karbon akan mendorong kenaikan biaya produksi, memperlemah daya saing sektor industri yang akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kestabilan perekonomian Indonesia. Salah satu Industri Industri yang terdampak langsung adalah industri keramik.Â
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan pajak karbon karena penerapan menjadi ancaman langsung terhadap daya saing industri keramik. Ia juga meyakini akan adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon yang akan memberikan efek domino terhadap konsumen akhir dengan harga jual keramik yang lebih mahal. Jadi, adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi Indonesia, mengingat efek domino yang akan dirasakan hingga pada harga jual produk di tingkat konsumen.
Ketiga, Infrastruktur dan Sistem yang Belum Siap. Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk menerapkan pajak karbon adalah adanya sistem pemantauan emisi yang akurat. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk memonitor dan melaporkan emisi karbon. Indonesia membutuhkan sistem yang memadai untuk mendeteksi emisi dari proses industri.
Misal, sistem inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memadai karena faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungannya masih mengandalkan data internasional, sehingga standar tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan di Indonesia. Selain itu, di daerah yang terpencil, infrastruktur yang tersedia untuk melakukan pemantauan emisi ini masih sangat terbatas penyediaannya
Keempat, Prioritas Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi. Pasca pandemi COVID-19, pemerintah masih memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional. Adanya kebijakan baru seperti pajak karbon dikhawatirkan dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih. Selain itu, Pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakat, yang masih rentan terhadap kenaikan biaya akibat penerapan pajak baru.
Seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), kebijakan pemulihan ekonomi diharapkan dapat mendukung stabilitas keuangan negara dan mempercepat pemulihan sektor-sektor yang terdampak pandemi, yang bertujuan untuk memperkuat sektor kesehatan, mendukung dunia usaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bantuan sosial dan insentif fiskal. Penerapan kebijakan pajak karbon, pastinya berpotensi dapat mendistract program tersebut.
Kelima, Belum Adanya Mekanisme yang Jelas. Saat ini, mekanisme teknis dari pelaksanaan pajak karbon belum dirumuskan secara lengkap,mulai dari penetapan tarif, ambang batas emisi, serta regulasi-regulasi pendukung lainnya. Tanpa adanya mekanisme yang jelas, kebijakan ini tentunya berpotensi menimbulkan kebingungan di antara pelaku industri dan masyarakat.
Dibalik alasan-alasan tersebut, tentunya banyak juga asumsi-asumsi lain yang bermunculan, mulai dari adanya inkonsistensi pemerintah  dalam terhadap pengendalian perubahan iklim dan target net zero emission pada 2060, atau asumsi lain yang mengatakan bahwa adanya keberpihakan pemerintah terhadap industri padat karbon yang mana resistensi dari pelaku usaha seharusnya tidak menjadi alasan utama untuk penundaan ini, jika pemerintah benar-benar serius dalam mengatasi krisis iklim yang sudah berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.Â
Selain itu, penundaan ini juga menimbulkan keraguan dari pihak masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam menjalankan Paris Agreement, mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat emisi karbon yang terus meningkat. Tanpa langkah tegas dan implementasi yang segera, kebijakan pajak karbon dikhawatirkan hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata bagi pengurangan emisi.
Persiapan Infrastruktur Pajak Karbon
Penundaan penerapan kebijakan ini sejatinya ini ditujukan untuk memberikan waktu bagi pemerintah untuk menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan ini, yaitu:
Membangun infrastruktur pemantauan emisi yang memadai;
Merancang insentif bagi industri untuk beralih ke energi bersih;
Menyusun mekanisme atau strategi yang jelas untuk transisi ke energi terbarukan.Â
Selain itu, penundaan memberikan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran publik dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pajak karbon dalam menghadapi perubahan iklim. Penundaan penerapan pajak karbon hingga 2025 ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk mempersiapkan agar kebijakan ini nantinya lebih optimal saat diimplementasikan. Dengan persiapan yang optimal, kebijakan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai alat strategis untuk mendukung pengurangan emisi karbon dan mendorong transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon secara berkelanjutan.
Penundaan penerapan pajak karbon ini dapat dimaklumi jika didasari oleh pertimbangan yang rasional, seperti kesiapan infrastruktur pemantauan emisi, penyusunan mekanisme yang jelas, serta perlunya waktu untuk mengedukasi dan mempersiapkan pelaku industri serta masyarakat. Kebijakan pajak karbon tanpa persiapan matang, berisiko menjadi tidak efektif dan dapat menimbulkan ketidakadilan dalam pelaksanaannya. Namun, jika penundaan ini terjadi karena tekanan dari industri padat karbon atau alasan-alasan lain yang tidak dapat dibenarkan, maka kebijakan ini mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pengendalian perubahan iklim serta target net zero emission 2060. Hal ini akan sendiri dapat kepercayaan publik dan kredibilitas pemerintah.
Penolakan demi penolakan yang diajukan dari para pelaku industri adalah sebuah hal yang pasti datang bergulir. Aspek keberlanjutan industri Indonesia dipertaruhkan. Tetapi, dengan adanya penundaan ditambah dengan regulasi di awal pelaksanaan yang masih dipatok dengan tarif yang rendah, merupakan salah satu bentuk keringanan dan perpanjangan jangka waktu adaptasi bagi para pelaku industri. Alasan penurunan daya saing seharusnya menjadi tombak kunci dari kebangkitan industri karena dengan penerapan kebijakan ini, para pelaku industri dapat menciptakan inovasi produk yang proses produksinya lebih ramah lingkungan. Hal tersebut juga dapat meningkatkan nilai jual dari suatu produk karena telah banyak masyarakat yang peduli akan isu perubahan iklim ini.Â
Dengan berkaca pada risiko perubahan iklim yang mulai terasa dampaknya di sebagian besar wilayah di Indonesia, pemerintah seharusnya dapat berkomitmen kuat pada upaya pengurangan risiko tersebut. Perubahan iklim yang sebagian besar terjadi akibat emisi karbon, menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk dapat menerapkan kebijakan pajak karbon. Tentunya didukung dengan infrastruktur dan regulasi yang matang, kebijakan ini diyakini dapat mengurangi produksi emisi karbon di Indonesia akibat peralihan ke energi ramah lingkungan dari para pelaku industri.Â
Urgensi dari penerapan kebijakan ini sudah menjadi dasar untuk tidak melakukan penundaan atas penerapannya. Pemerintah bisa melakukan uji coba di tahun-tahun awal dengan terus memantau kesiapan pelaku industri dan evaluasi atas regulasi yang ditetapkan. Pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor industri perlu menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Pemerintah juga bisa mencanangkan alternatif kebijakan apabila nantinya terdapat pelaku industri yang sulit untuk beradaptasi atas kebijakan ini. Selain itu, pemerintah juga perlu terus mendukung dengan memberikan fasilitas infrastruktur yang mendukung penggunaan energi terbarukan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H