Ketiga, Infrastruktur dan Sistem yang Belum Siap. Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk menerapkan pajak karbon adalah adanya sistem pemantauan emisi yang akurat. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk memonitor dan melaporkan emisi karbon. Indonesia membutuhkan sistem yang memadai untuk mendeteksi emisi dari proses industri.
Misal, sistem inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memadai karena faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungannya masih mengandalkan data internasional, sehingga standar tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan di Indonesia. Selain itu, di daerah yang terpencil, infrastruktur yang tersedia untuk melakukan pemantauan emisi ini masih sangat terbatas penyediaannya
Keempat, Prioritas Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi. Pasca pandemi COVID-19, pemerintah masih memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional. Adanya kebijakan baru seperti pajak karbon dikhawatirkan dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih. Selain itu, Pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakat, yang masih rentan terhadap kenaikan biaya akibat penerapan pajak baru.
Seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), kebijakan pemulihan ekonomi diharapkan dapat mendukung stabilitas keuangan negara dan mempercepat pemulihan sektor-sektor yang terdampak pandemi, yang bertujuan untuk memperkuat sektor kesehatan, mendukung dunia usaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bantuan sosial dan insentif fiskal. Penerapan kebijakan pajak karbon, pastinya berpotensi dapat mendistract program tersebut.
Kelima, Belum Adanya Mekanisme yang Jelas. Saat ini, mekanisme teknis dari pelaksanaan pajak karbon belum dirumuskan secara lengkap,mulai dari penetapan tarif, ambang batas emisi, serta regulasi-regulasi pendukung lainnya. Tanpa adanya mekanisme yang jelas, kebijakan ini tentunya berpotensi menimbulkan kebingungan di antara pelaku industri dan masyarakat.
Dibalik alasan-alasan tersebut, tentunya banyak juga asumsi-asumsi lain yang bermunculan, mulai dari adanya inkonsistensi pemerintah  dalam terhadap pengendalian perubahan iklim dan target net zero emission pada 2060, atau asumsi lain yang mengatakan bahwa adanya keberpihakan pemerintah terhadap industri padat karbon yang mana resistensi dari pelaku usaha seharusnya tidak menjadi alasan utama untuk penundaan ini, jika pemerintah benar-benar serius dalam mengatasi krisis iklim yang sudah berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.Â
Selain itu, penundaan ini juga menimbulkan keraguan dari pihak masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam menjalankan Paris Agreement, mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat emisi karbon yang terus meningkat. Tanpa langkah tegas dan implementasi yang segera, kebijakan pajak karbon dikhawatirkan hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata bagi pengurangan emisi.
Persiapan Infrastruktur Pajak Karbon
Penundaan penerapan kebijakan ini sejatinya ini ditujukan untuk memberikan waktu bagi pemerintah untuk menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan ini, yaitu: