Langit Januari tertutup awan kelabu, menumpahkan hujan tanpa henti yang membasahi setiap sudut kampus. Di koridor panjang gedung pascasarjana, langkah mahasiswa terdengar tergesa. Hari ini, deadline pengumpulan tugas melayang di atas kepala seperti awan gelap yang siap meledak kapan saja.
Umar, dengan ransel agak basah, baru saja sampai di depan kelas. Ia menenteng map berisi tugas penelitian---makalah yang menjadi penentu nilai besar di mata kuliah inti. Rambutnya sedikit bercipratan air hujan, tapi ia tampak tenang. Di sisi lain, Samuel telah duduk di bangku paling depan, tampak sibuk merapikan kertas-kertas. Wajahnya tegang, matanya menyorot semacam kegelisahan. Persahabatan di antara keduanya sebenarnya cukup erat, tetapi belakangan mulai terasa kaku karena tekanan akademik.
Tidak jauh dari mereka, seorang mahasiswi bernama Rahma memperhatikan dengan pandangan tajam. Rahma dikenal sebagai teman sekelas yang ramah, namun belakangan ia sering melontarkan komentar yang memancing keretakan di antara teman-teman. Ia kerap menyampaikan "fakta" dengan nada pedas, seolah menebar bibit provokasi.
"Hai, Umar," sapa Rahma, mendekat dengan senyum tipis. "Dengar-dengar Samuel belum selesai revisi tugasnya? Wah, kalau kau sudah siap, mungkin ini peluang buatmu menunjukkan siapa yang lebih tangguh." Kalimatnya terdengar biasa, tapi intonasinya menyiratkan dorongan agar Umar memandang Samuel sebagai saingan.
Umar mengernyitkan dahi. "Aku tak pernah memikirkan itu, Rahma. Aku dan Samuel sama-sama berjuang. Kami mau lulus sama-sama juga."
"Oh, ya? Karena kemarin aku sempat dengar Samuel bilang tugasmu biasa saja," ujarnya, menambahkan nada dramatik. Lalu Rahma melengos pergi, meninggalkan Umar yang mulai dirundung keraguan.
Sementara itu, di dalam kelas, Samuel berusaha menyelesaikan halaman akhir makalahnya. Hujan makin deras, mengetuk jendela dengan ritme yang menenangkan sekaligus mencekam. Samuel menoleh ke arah Umar yang baru masuk kelas. Ia mengangguk kecil, tapi Umar membalasnya dengan tatapan datar. Ada sekat tak kasatmata terbentuk di antara mereka.
Waktu istirahat tiba, para mahasiswa berpencar. Sebagian ke kantin, sebagian tetap di ruang diskusi. Umar dan Samuel memanfaatkan waktu untuk memeriksa tugas masing-masing. Hujan di luar mengguyur makin deras, menimbulkan genangan besar di halaman kampus.
Dalam suasana agak lengang, Rahma kembali muncul, kali ini mendekati Samuel di bangku pojok. "Sam," katanya perlahan, "dengar-dengar Umar sudah memfinalisasi tugasnya jauh lebih baik. Malahan, katanya dia sempat konsultasi tambahan ke dosen. Kau yakin tugasmu aman?"
Samuel menoleh, kerutan di dahinya makin dalam. "Apa maksudmu, Rahma?"
Rahma menggeleng, berpura-pura tak ada niat buruk. "Enggak, kok. Aku cuma khawatir kau akan tertinggal jauh. Soalnya, kudengar beberapa teman bilang, makalah Umar ini bakal jadi acuan. Kamu yakin tak perlu menambah sumber?"
Samuel mendadak cemas. Waktu pengumpulan tinggal beberapa jam lagi. Ia tidak menyangka Umar akan sejauh itu mempersiapkan diri. "Aku masih merevisi kesimpulan," ujarnya pendek. Namun, kata-katanya menggantung dalam kegetiran.
Rahma kemudian menghampiri Umar. "Sam bilang tugasmu berlebihan, loh. Seperti terlalu banyak teori, kurang aplikatif," katanya bersungut-sungut.
Umar menatap Rahma dengan heran. "Samuel bilang begitu?"
"Ya, dia sempat nyeletuk tadi," jawab Rahma, mengangkat bahu. "Mungkin dia iri."
Mendengar itu, Umar terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Apakah Samuel memang berpikir tugasnya terlalu 'berlebihan'? Sejenak Umar merasa kecewa. Persahabatan mereka seperti terancam oleh bisikan-bisikan kecil yang menyelinap di antara derasnya hujan.
Menjelang jam makan siang, suasana semakin tegang. Samuel mengutak-atik laptopnya, sementara Umar menumpuk buku-buku referensi di hadapannya. Tak ada percakapan langsung di antara mereka---keduanya tenggelam dalam kesibukan masing-masing, dan bibit kecurigaan yang Rahma tebar seolah meracuni pikiran mereka.
Pada titik inilah konflik antara dua sahabat mulai terlihat jelas. Keduanya sama-sama cemas, sama-sama berusaha tampil terbaik, tapi kehadiran Rahma dengan komentar-komentar provokatif membuat situasi kian panas.
Hujan mereda sejenak, tapi langit masih mendung. Samuel keluar dari ruang diskusi, hendak mencari udara segar. Saat itulah, tanpa sengaja, ia mendengar Rahma bercerita di sudut koridor bersama seorang teman. Rahma bicara keras, seolah sengaja agar Samuel mendengar.
"Kasihan Umar. Dia sudah kerja keras, tapi Samuel sepertinya senang menilai buruk tugas Umar," ucap Rahma.
Dada Samuel bergemuruh. Ia tak pernah mengkritik tugas Umar---itu cuma bualan Rahma. Menyadari dirinya difitnah, amarah mendidih dalam diri Samuel. Tapi bersamaan dengan itu, ia tersadar: persahabatannya dengan Umar diprovokasi. Mungkin Umar pun sudah salah paham padanya. Samuel merasakan kesedihan yang aneh di tengah amarahnya.
Detik-detik menjelang pengumpulan tugas tiba. Hujan kembali deras, seperti tirai tebal menutupi jendela kelas. Para mahasiswa, termasuk Umar dan Samuel, bersiap di ruang dosen. Satu per satu mengumpulkan makalah. Sementara itu, Rahma berdiri di belakang, seolah menunggu drama apa lagi yang akan terjadi.
Ketika tiba giliran Umar, ia menatap Samuel dengan sorot mata ragu. Samuel balas menatap, sama-sama diliputi konflik batin. Umar mengembuskan napas, menyerahkan tugasnya. Tak ada kejadian dramatis---sampai Samuel akhirnya maju dengan map tugasnya.
"Maaf, Pak," ujar Samuel kepada dosen. "Saya sudah berusaha menambahkan beberapa hal yang mungkin belum sempurna." Ia menyerahkan makalah, lalu menoleh pada Umar. "Marilah kita diskusikan bareng kalau masih kurang. Toh kita selalu belajar sama-sama."
Kalimat itu disampaikan di hadapan dosen dan Rahma yang mendengar dengan seksama. Umar menatap Samuel, terharu. Bagaimanapun, hubungan mereka tak sepatutnya rusak karena isu miring. Umar balas berkata, "Iya, Sam. Aku juga terbuka untuk revisi. Kita bisa kolaborasi lagi setelah ini."
"Lho, kok bisa akur lagi?" gumam Rahma setengah berbisik, kecewa karena 'dramanya' tak berlanjut.
Begitu mereka keluar dari ruang dosen, hujan semakin menderas, seakan menguji siapa pun yang hendak pulang. Samuel dan Umar saling pandang, lalu tertawa kecil dalam kelegaan. "Ada baiknya kita menunggu reda di kantin," kata Samuel.
Umar mengangguk, "Baru sekarang aku sadar, Sam, ada yang berusaha memancing kita agar bermusuhan." Ia tak perlu menyebut nama Rahma; keduanya sudah tahu.
Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor kampus, genangan air memantulkan lampu neon menjadi cahaya yang berpendar. Di sela-sela suara gemericik hujan, mereka menertawakan kegelisahan dan kesalahpahaman tadi. Rupanya, pertemanan lebih kuat daripada provokasi apa pun.
Beberapa saat kemudian, mereka duduk di kantin, menyesap teh hangat sambil menunggu hujan reda. "Aku senang kita menuntaskan ini sebelum jadi besar," ujar Samuel sambil menatap gerimis di luar kaca jendela. Bulan Januari mungkin basah dan suram, tapi bagi mereka, hujan kali ini justru membersihkan kerikil konflik yang sempat merenggangkan persahabatan.
Umar menimpali, "Kau benar. Dalam setiap hujan, ada selalu pelangi setelahnya---paling tidak, kalau kita sabar menunggu."
Di sudut lain, Rahma terlihat berlalu tanpa banyak bicara, mungkin kecewa karena 'dramanya' tak berbuah keretakan. Samuel dan Umar hanya saling tersenyum, menyadari bahwa persahabatan terkadang harus melewati badai, bahkan hujan Januari yang menyesakkan, agar tumbuh lebih kuat dan kokoh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI