Samuel mendadak cemas. Waktu pengumpulan tinggal beberapa jam lagi. Ia tidak menyangka Umar akan sejauh itu mempersiapkan diri. "Aku masih merevisi kesimpulan," ujarnya pendek. Namun, kata-katanya menggantung dalam kegetiran.
Rahma kemudian menghampiri Umar. "Sam bilang tugasmu berlebihan, loh. Seperti terlalu banyak teori, kurang aplikatif," katanya bersungut-sungut.
Umar menatap Rahma dengan heran. "Samuel bilang begitu?"
"Ya, dia sempat nyeletuk tadi," jawab Rahma, mengangkat bahu. "Mungkin dia iri."
Mendengar itu, Umar terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Apakah Samuel memang berpikir tugasnya terlalu 'berlebihan'? Sejenak Umar merasa kecewa. Persahabatan mereka seperti terancam oleh bisikan-bisikan kecil yang menyelinap di antara derasnya hujan.
Menjelang jam makan siang, suasana semakin tegang. Samuel mengutak-atik laptopnya, sementara Umar menumpuk buku-buku referensi di hadapannya. Tak ada percakapan langsung di antara mereka---keduanya tenggelam dalam kesibukan masing-masing, dan bibit kecurigaan yang Rahma tebar seolah meracuni pikiran mereka.
Pada titik inilah konflik antara dua sahabat mulai terlihat jelas. Keduanya sama-sama cemas, sama-sama berusaha tampil terbaik, tapi kehadiran Rahma dengan komentar-komentar provokatif membuat situasi kian panas.
Hujan mereda sejenak, tapi langit masih mendung. Samuel keluar dari ruang diskusi, hendak mencari udara segar. Saat itulah, tanpa sengaja, ia mendengar Rahma bercerita di sudut koridor bersama seorang teman. Rahma bicara keras, seolah sengaja agar Samuel mendengar.
"Kasihan Umar. Dia sudah kerja keras, tapi Samuel sepertinya senang menilai buruk tugas Umar," ucap Rahma.
Dada Samuel bergemuruh. Ia tak pernah mengkritik tugas Umar---itu cuma bualan Rahma. Menyadari dirinya difitnah, amarah mendidih dalam diri Samuel. Tapi bersamaan dengan itu, ia tersadar: persahabatannya dengan Umar diprovokasi. Mungkin Umar pun sudah salah paham padanya. Samuel merasakan kesedihan yang aneh di tengah amarahnya.
Detik-detik menjelang pengumpulan tugas tiba. Hujan kembali deras, seperti tirai tebal menutupi jendela kelas. Para mahasiswa, termasuk Umar dan Samuel, bersiap di ruang dosen. Satu per satu mengumpulkan makalah. Sementara itu, Rahma berdiri di belakang, seolah menunggu drama apa lagi yang akan terjadi.