Gemetar suara Halimah terdengar jelas melalui layar Google Meet. Tangannya tampak sibuk merapikan kerudungnya yang sebenarnya sudah rapi. Pandangan matanya gelisah, sesekali melirik ke bawah, entah pada catatan kecil di meja atau sekadar mencari keberanian yang terselip entah di mana. Ujian komprehensif ini adalah salah satu tantangan sebelum menyandang gelar pendidik profesional.
Aku duduk di depan layar, menatapnya dengan sorot yang sengaja kutahan agar tetap tegas. Meski di dalam hati, aku terhanyut oleh kegugupannya. "Baik, Halimah, tolong tuliskan ayat Al-Qur'an yang sudah saya sebutkan tadi di kolom chat," kataku dengan nada datar.
Tiba-tiba, tangannya terlihat gemetar hebat saat menulis. Jemarinya terpeleset di keyboard, membuat huruf-huruf melompat-lompat di kolom chat. "Pak... maaf, saya... saya salah ketik..." suaranya tertahan, nyaris tenggelam dalam rasa malu.
Kukeraskan sedikit nada suara, "Tidak apa-apa, coba lagi dengan tenang. Fokus, Halimah."
Namun, bukannya tenang, air mata tampak menggenang di matanya. Dia berusaha menahan agar tidak tumpah. Ketegangan merayap ke seluruh layar, terasa bahkan hingga ke sudut kamarku. Aku mulai bertanya-tanya, haruskah aku melanjutkan ini?
Namun, jika kuhentikan, aku tahu dia akan kecewa, bahkan mungkin patah semangat. Aku memilih untuk melanjutkan, memberinya waktu untuk mereset dirinya sendiri. "Kita lanjut ke pertanyaan berikutnya. Sebutkan tiga teori belajar yang relevan untuk siswa kelas rendah."
Dia terdiam sesaat, menggigit bibir bawahnya, lalu berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar, "Behaviorisme... konstruktivisme... dan... dan... maaf, Pak, saya lupa."
"Tidak apa-apa, dua sudah benar. Coba ingat yang satu lagi," dorongku.
Halimah mengangguk pelan, lalu menunduk seolah sedang menggali dalam-dalam ke dalam ingatannya. Ia berusaha keras, dan aku bisa melihat ketekunan di balik kegugupannya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya berkata, "Humanisme, Pak."
"Bagus," jawabku singkat, menahan senyum yang hampir saja muncul.
Namun, ujian ini belum selesai. Masih ada bagian membaca dan menulis ayat Al-Qur'an. Aku menyebutkan ayat pendek, berharap ini bisa membantunya merasa lebih percaya diri. "Silakan  surat Al-Kafirun ayat pertama sampai terakhir."
Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu mulai membaca. Suaranya gemetar, kata-katanya terdengar terputus-putus. Tapi dia terus membaca hingga selesai. Aku bisa melihat perjuangannya, dan itu membuatku diam-diam kagum.
"Baik, sekarang coba tuliskan ayat tersebut," kataku.
Halimah mengangguk, meski tangan gemetarnya kembali membuat tulisannya salah. Dia menulis ulang beberapa kali, berulang kali meminta maaf. "Pak, maaf, saya terlalu gugup," katanya dengan suara serak.
"Apa yang membuatmu gugup, Halimah?" tanyaku akhirnya, mencoba membuka ruang bagi emosinya.
"Saya takut mengecewakan, Pak. Saya sudah berusaha keras, tapi rasanya selalu kurang," jawabnya pelan.
Kurasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan akademis. Mungkin tekanan, mungkin ekspektasi yang terlalu tinggi, mungkin juga rasa tidak percaya diri yang sudah lama bersarang. Aku tak ingin menambah bebannya.
"Halimah, kamu tahu apa arti ujian ini?" tanyaku dengan nada yang lebih lembut.
"Untuk menunjukkan bahwa saya layak menjadi seorang guru, Pak," jawabnya.
"Benar. Tapi lebih dari itu, ujian ini adalah prosesmu mengenali bahwa usaha tidak pernah sia-sia, meskipun hasilnya tidak sempurna. Ketika kamu sudah berusaha, maka itulah yang terpenting."
Halimah terdiam. Napasnya mulai lebih teratur. Dengan keberanian baru, dia kembali menulis ayat yang kuminta. Kali ini, meski masih ada kesalahan kecil, dia menyelesaikannya tanpa berhenti di tengah jalan.
"Baik, Halimah. Ujian ini selesai," kataku sambil mengangguk.
Air mata yang tadi ditahannya kini akhirnya jatuh. "Terima kasih, Pak. Saya benar-benar takut tadi," katanya dengan suara yang lebih ringan.
Aku menghela napas panjang, menyembunyikan emosi yang membuncah di dadaku.
"Halimah, takut itu wajar. Tapi keberanian adalah tetap melangkah meski kamu takut. Dan hari ini, kamu melakukannya dengan sangat baik."
Dalam keheningan yang mengikuti, aku merasa lega. Bukan hanya karena ujian ini selesai, tapi karena aku tahu Halimah telah melewati lebih dari sekadar ujian akademik. Dia telah melawan ketakutannya sendiri, dan bagiku, itu adalah kemenangan sejati.
Selesai dari sesi itu, aku menatap layar yang kini kosong. Sekilas tadi, aku terlihat seperti dosen yang tegas dan tanpa empati. Tapi di balik layar ini, aku tahu hatiku telah menyimpan pelajaran besar: bahwa tugas seorang pendidik bukan sekadar menilai, tapi juga memberi ruang bagi setiap mahasiswa untuk belajar dan bertumbuh, meski di tengah kegugupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H