"Baik, Halimah. Ujian ini selesai," kataku sambil mengangguk.
Air mata yang tadi ditahannya kini akhirnya jatuh. "Terima kasih, Pak. Saya benar-benar takut tadi," katanya dengan suara yang lebih ringan.
Aku menghela napas panjang, menyembunyikan emosi yang membuncah di dadaku.
"Halimah, takut itu wajar. Tapi keberanian adalah tetap melangkah meski kamu takut. Dan hari ini, kamu melakukannya dengan sangat baik."
Dalam keheningan yang mengikuti, aku merasa lega. Bukan hanya karena ujian ini selesai, tapi karena aku tahu Halimah telah melewati lebih dari sekadar ujian akademik. Dia telah melawan ketakutannya sendiri, dan bagiku, itu adalah kemenangan sejati.
Selesai dari sesi itu, aku menatap layar yang kini kosong. Sekilas tadi, aku terlihat seperti dosen yang tegas dan tanpa empati. Tapi di balik layar ini, aku tahu hatiku telah menyimpan pelajaran besar: bahwa tugas seorang pendidik bukan sekadar menilai, tapi juga memberi ruang bagi setiap mahasiswa untuk belajar dan bertumbuh, meski di tengah kegugupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H