Namun, ujian ini belum selesai. Masih ada bagian membaca dan menulis ayat Al-Qur'an. Aku menyebutkan ayat pendek, berharap ini bisa membantunya merasa lebih percaya diri. "Silakan  surat Al-Kafirun ayat pertama sampai terakhir."
Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu mulai membaca. Suaranya gemetar, kata-katanya terdengar terputus-putus. Tapi dia terus membaca hingga selesai. Aku bisa melihat perjuangannya, dan itu membuatku diam-diam kagum.
"Baik, sekarang coba tuliskan ayat tersebut," kataku.
Halimah mengangguk, meski tangan gemetarnya kembali membuat tulisannya salah. Dia menulis ulang beberapa kali, berulang kali meminta maaf. "Pak, maaf, saya terlalu gugup," katanya dengan suara serak.
"Apa yang membuatmu gugup, Halimah?" tanyaku akhirnya, mencoba membuka ruang bagi emosinya.
"Saya takut mengecewakan, Pak. Saya sudah berusaha keras, tapi rasanya selalu kurang," jawabnya pelan.
Kurasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan akademis. Mungkin tekanan, mungkin ekspektasi yang terlalu tinggi, mungkin juga rasa tidak percaya diri yang sudah lama bersarang. Aku tak ingin menambah bebannya.
"Halimah, kamu tahu apa arti ujian ini?" tanyaku dengan nada yang lebih lembut.
"Untuk menunjukkan bahwa saya layak menjadi seorang guru, Pak," jawabnya.
"Benar. Tapi lebih dari itu, ujian ini adalah prosesmu mengenali bahwa usaha tidak pernah sia-sia, meskipun hasilnya tidak sempurna. Ketika kamu sudah berusaha, maka itulah yang terpenting."
Halimah terdiam. Napasnya mulai lebih teratur. Dengan keberanian baru, dia kembali menulis ayat yang kuminta. Kali ini, meski masih ada kesalahan kecil, dia menyelesaikannya tanpa berhenti di tengah jalan.