Malam itu, ponselku terus bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp kelas K2 tak henti-hentinya berdatangan. Seperti biasa, mereka sedang berdiskusi---atau lebih tepatnya, memperdebatkan tugas modul Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Aku hanya mengamati dari balik layar, mencoba memahami dinamika mereka.
"Ya Allah, ini tugas kebanyakan banget! Batas waktu mepet pula," tulis Santi. Emoji wajah menangis yang ia tambahkan seakan memperkuat keluhannya.
"Iya, Santi, aku juga merasa beban ini berat banget," balas Abdi. "Apalagi aku harus ngurus anak kembar. Bayangin, tengah malam begadang nyiapkan susu, paginya kudu nyelesaikan KOSP!"
Nopi, yang biasanya lebih tenang, menanggapi, "Santai aja, Mas Abdi. Kita coba bagi waktu. Tugas ini memang berat, tapi kan kita tahu, tujuan akhirnya buat kita juga."
Abdi langsung membalas dengan gayanya yang ceplas-ceplos. "Ah, Nopi, kamu gampang ngomong karena nggak punya anak kembar. Cobain deh tidur dua jam semalam, terus bikin laporan! Baru ngerti rasanya."
Aku tersenyum kecil membaca komentar mereka. Meski sering berselisih paham, aku tahu mereka saling peduli.
Percakapan terus berlanjut, semakin malam semakin dalam.
"Saya tadi gemeteran banget waktu diminta presentasi sama Pak Jamal," tulis Santi. "Pak Jamal tuh auranya beda. Rasanya nggak mau mengecewakan, tapi malah jadi panik sendiri."
Aku terpaku membaca kalimat itu. Tidak terpikir bahwa keberadaanku bisa membuat mahasiswa merasa seperti itu. Aku mengetik sebuah pesan, berusaha tidak terlalu mencolok.
"Santi, semua orang punya kekuatan masing-masing. Jangan takut salah, karena justru dari situ kita belajar. Percaya pada dirimu."
Santi langsung membalas. "Makasih, Pak. Pesan ini menenangkan. Saya akan coba lebih rileks."
Abdi pun ikut berkomentar, kali ini dengan nada yang sedikit menghibur. "Gemeteran? Santai aja, Santi. Pak Jamal nggak makan orang kok, walaupun gayanya memang bikin jantung deg-degan."
Tawa-tawa digital membanjiri grup. Meski candaan Abdi kadang terasa tajam, aku tahu ia berusaha meringankan suasana.
Diskusi kembali mengarah pada tugas. Kali ini, Nopi mencoba membagikan pengalamannya.
"Kalau saya, sebelum mulai tugas, saya bikin to-do list kecil-kecilan. Dari situ, saya coba selesaikan satu per satu. Kayaknya kalau semua dilihat sekaligus, memang bikin pusing."
"Bagus tuh, Nopi. Tapi nggak semua orang punya waktu buat mikir kayak kamu," balas Abdi lagi. "Aku ini, mau bikin KOSP aja harus sambil gendong anak yang satu dan lihat si kembar yang satunya lagi mecahin mainan. Sabar aja kadang udah susah!"
Membaca itu, aku tidak bisa diam. Kali ini, aku menyampaikan sebuah pesan langsung.
"Abdi, saya tahu bebanmu berat. Tapi kamu juga punya kekuatan yang mungkin kamu belum sadari: kesabaran dan ketangguhan. Dua hal ini lebih bernilai daripada kesempurnaan."
Lama tidak ada balasan dari Abdi, hingga akhirnya ia menulis, "Makasih, Pak. Jujur aja, ini pertama kalinya saya ngerasa ada yang bener-bener paham beratnya kondisi saya. Saya coba bertahan."
Santi pun menimpali, "Mas Abdi, saya yakin, anak kembar Mas suatu saat bakal bangga banget punya ayah seperti Mas. Tetap semangat, ya!"
Aku membaca itu dengan mata sedikit berkaca-kaca. Di balik semua tekanan yang mereka rasakan, ada kekuatan luar biasa dalam diri mereka masing-masing. Mereka hanya perlu saling menguatkan.
Menjelang tengah malam, percakapan di grup mulai mereda. Namun sebelum grup benar-benar sunyi, aku mengetik sebuah pesan untuk menutup diskusi.
"Kalian semua adalah pejuang. Dalam setiap tantangan, ada pelajaran yang membuat kita lebih kuat. Jangan pernah ragu untuk saling mendukung, karena perjalanan ini bukan tentang siapa yang tercepat, melainkan siapa yang bisa saling menguatkan hingga akhir."
Pesan itu diikuti dengan ucapan terima kasih dari para mahasiswa. Abdi pun menambahkan pesan yang membuatku tertawa kecil, "Pak Jamal, besok bikin tugasnya jangan terlalu banyak, ya. Anak kembar saya udah protes."
Malam itu aku menyadari bahwa peran dosen tidak hanya mengajar di ruang kelas. Di balik layar, ada dunia kecil penuh cerita dan perjuangan dari setiap mahasiswa. Setiap kata, dukungan, dan kepercayaan yang kita berikan bisa menjadi kekuatan bagi mereka untuk terus melangkah.
Aku menutup percakapan dengan rasa haru. Namun, di hatiku ada sebuah dorongan kuat: cerita ini belum selesai. Esok adalah babak baru, di mana perjalanan mereka---dan aku---akan terus berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H