Abdi pun ikut berkomentar, kali ini dengan nada yang sedikit menghibur. "Gemeteran? Santai aja, Santi. Pak Jamal nggak makan orang kok, walaupun gayanya memang bikin jantung deg-degan."
Tawa-tawa digital membanjiri grup. Meski candaan Abdi kadang terasa tajam, aku tahu ia berusaha meringankan suasana.
Diskusi kembali mengarah pada tugas. Kali ini, Nopi mencoba membagikan pengalamannya.
"Kalau saya, sebelum mulai tugas, saya bikin to-do list kecil-kecilan. Dari situ, saya coba selesaikan satu per satu. Kayaknya kalau semua dilihat sekaligus, memang bikin pusing."
"Bagus tuh, Nopi. Tapi nggak semua orang punya waktu buat mikir kayak kamu," balas Abdi lagi. "Aku ini, mau bikin KOSP aja harus sambil gendong anak yang satu dan lihat si kembar yang satunya lagi mecahin mainan. Sabar aja kadang udah susah!"
Membaca itu, aku tidak bisa diam. Kali ini, aku menyampaikan sebuah pesan langsung.
"Abdi, saya tahu bebanmu berat. Tapi kamu juga punya kekuatan yang mungkin kamu belum sadari: kesabaran dan ketangguhan. Dua hal ini lebih bernilai daripada kesempurnaan."
Lama tidak ada balasan dari Abdi, hingga akhirnya ia menulis, "Makasih, Pak. Jujur aja, ini pertama kalinya saya ngerasa ada yang bener-bener paham beratnya kondisi saya. Saya coba bertahan."
Santi pun menimpali, "Mas Abdi, saya yakin, anak kembar Mas suatu saat bakal bangga banget punya ayah seperti Mas. Tetap semangat, ya!"
Aku membaca itu dengan mata sedikit berkaca-kaca. Di balik semua tekanan yang mereka rasakan, ada kekuatan luar biasa dalam diri mereka masing-masing. Mereka hanya perlu saling menguatkan.
Menjelang tengah malam, percakapan di grup mulai mereda. Namun sebelum grup benar-benar sunyi, aku mengetik sebuah pesan untuk menutup diskusi.