Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan di Ujung Kertas

24 November 2024   23:33 Diperbarui: 24 November 2024   23:46 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kelas siang itu terasa lengang. Mata-mata mahasiswa menatapku dengan penuh tanda tanya. Di hadapan mereka, aku mencoba menjelaskan sebuah konsep yang mungkin tak kasatmata, tapi begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari: hubungan antara etika dan kemanusiaan dalam filsafat pendidikan Islam.

Aku mengajar seperti biasa, dengan gaya penuh cerita dan analogi. Kadang aku mencontohkan dengan kisah pribadi, kadang lewat cerita-cerita kecil yang kupetik dari keseharian. Saat mengajar, aku selalu percaya bahwa ilmu bukan sekadar untuk dihafal, melainkan dirasakan dan dimaknai.

Di antara deretan mahasiswa yang mencatat penuh antusias, ada Kartika. Mahasiswi semester lima itu memang dikenal cerdas. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku terusik—tatapan mata yang tampak penuh beban. Seolah ada sesuatu yang ia perjuangkan, namun sulit ia ungkapkan.

Beberapa minggu berlalu, dan tibalah saat ujian tengah semester. Hasil ujian segera kukoreksi malam itu juga. Bukan karena aku tergesa-gesa, tapi aku percaya, setiap lembar jawaban adalah dialog sunyi antara dosen dan mahasiswa. Aku ingin menyelesaikannya dengan hati-hati.

Saat sampai pada lembar jawaban Kartika, aku tertegun. Tulisan tangannya rapi, hampir tanpa coretan. Jawabannya mendalam, menggambarkan seorang mahasiswa yang berpikir dan merenung lebih dalam daripada yang lain. Namun di beberapa soal, ia terlihat ragu-ragu. Nilainya tidak buruk, tapi aku merasa Kartika bisa lebih baik.

Aku pun menulis sebuah catatan kecil di sudut bawah lembar jawabannya, tepat di sebelah nilai akhirnya.

"Kartika, pemikiranmu sangat luar biasa. Jangan pernah takut salah. Kadang, keberanian untuk mencoba adalah pintu menuju kebijaksanaan."

Aku tak tahu apakah ia akan memperhatikannya. Tapi aku percaya, setiap kata yang kita tuliskan, jika disampaikan dengan tulus, bisa menjadi benih yang tumbuh di waktu yang tepat.

Belasan tahun berlalu. Hidupku terus berlanjut dengan ritme yang sama—mengajar, menjadi asesor, dan menyelesaikan pekerjaan administrasi di kantor. Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua yang kulakukan benar-benar memberikan dampak? Apakah mahasiswa-mahasiswa yang pernah kudidik mengingatku, atau mereka hanya menganggap perkuliahan sebagai rutinitas semata?

Hingga suatu pagi, aku menerima sebuah undangan. Kartika, salah satu mahasiswi yang pernah kukenal, akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar nasional. Judul yang ia bawakan menarik perhatian, karena berisi nilai-nilai pendidikan yang pernah kubahas di kelas dulu. Dengan rasa penasaran, aku memutuskan hadir di acara itu.

Saat Kartika naik ke panggung, aku hampir tak mengenalinya. Ia kini tampil begitu percaya diri, seorang profesional yang berwibawa. Dalam presentasinya, ia menyampaikan betapa pendidikan tak hanya soal angka, tapi soal membangun karakter dan keberanian berpikir.

Ketika sesi tanya jawab, aku tak bisa menahan diri. Aku mengangkat tangan dan bertanya dengan senyum, "Kartika, Anda menyampaikan nilai-nilai yang begitu dalam. Apakah ada pengalaman pribadi yang menginspirasi Anda?"

Kartika terdiam sejenak. Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti di wajahku. Aku melihat senyumnya perlahan mengembang.

"Terima kasih, Pak, atas pertanyaannya," katanya. "Sebenarnya, ada satu momen sederhana yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Waktu itu, saya mendapat nilai UTS dari Bapak. Di sebelah nilai saya, ada catatan kecil yang Bapak tulis. Isinya sederhana, tapi kata-kata itu membuat saya merasa dihargai, dipahami, dan didorong untuk terus mencoba."

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara bergetar, "Saya masih menyimpan kertas itu sampai sekarang. Setiap kali saya merasa ragu pada diri sendiri, saya membacanya kembali. Catatan kecil itu menjadi pengingat bahwa kadang, keberanian untuk mencoba adalah hal yang terpenting."

Ruangan hening seketika. Aku hanya bisa tersenyum, menahan perasaan haru yang tiba-tiba menyergap.

Setelah acara selesai, Kartika menghampiriku. Ia menyodorkan sebuah amplop kecil yang sudah kusam. "Ini, Pak," katanya sambil tertawa kecil. "UTS saya yang dulu. Saya bawa ke mana-mana."

Aku membuka amplop itu, dan di sana kulihat kertas UTS yang sudah mulai menguning. Di sudutnya, catatan kecil yang pernah kutulis masih terbaca jelas. Kata-kata itu seolah kembali padaku, tapi kini dengan makna yang lebih besar.

"Kartika," kataku perlahan, "terima kasih sudah mengingat ini. Tapi yang lebih penting, terima kasih sudah membuktikan bahwa kamu bisa lebih dari yang pernah saya bayangkan."

Ia tersenyum, dan aku tahu, momen ini akan terus membekas dalam hidup kami berdua.

Cerita itu mengingatkanku bahwa mengajar bukan sekadar transfer ilmu, melainkan seni menanamkan harapan. Kadang, sebuah kalimat sederhana bisa menjadi cahaya yang menerangi jalan seseorang—bahkan bertahun-tahun setelahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun