Kelas siang itu terasa lengang. Mata-mata mahasiswa menatapku dengan penuh tanda tanya. Di hadapan mereka, aku mencoba menjelaskan sebuah konsep yang mungkin tak kasatmata, tapi begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari: hubungan antara etika dan kemanusiaan dalam filsafat pendidikan Islam.
Aku mengajar seperti biasa, dengan gaya penuh cerita dan analogi. Kadang aku mencontohkan dengan kisah pribadi, kadang lewat cerita-cerita kecil yang kupetik dari keseharian. Saat mengajar, aku selalu percaya bahwa ilmu bukan sekadar untuk dihafal, melainkan dirasakan dan dimaknai.
Di antara deretan mahasiswa yang mencatat penuh antusias, ada Kartika. Mahasiswi semester lima itu memang dikenal cerdas. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku terusik—tatapan mata yang tampak penuh beban. Seolah ada sesuatu yang ia perjuangkan, namun sulit ia ungkapkan.
Beberapa minggu berlalu, dan tibalah saat ujian tengah semester. Hasil ujian segera kukoreksi malam itu juga. Bukan karena aku tergesa-gesa, tapi aku percaya, setiap lembar jawaban adalah dialog sunyi antara dosen dan mahasiswa. Aku ingin menyelesaikannya dengan hati-hati.
Saat sampai pada lembar jawaban Kartika, aku tertegun. Tulisan tangannya rapi, hampir tanpa coretan. Jawabannya mendalam, menggambarkan seorang mahasiswa yang berpikir dan merenung lebih dalam daripada yang lain. Namun di beberapa soal, ia terlihat ragu-ragu. Nilainya tidak buruk, tapi aku merasa Kartika bisa lebih baik.
Aku pun menulis sebuah catatan kecil di sudut bawah lembar jawabannya, tepat di sebelah nilai akhirnya.
"Kartika, pemikiranmu sangat luar biasa. Jangan pernah takut salah. Kadang, keberanian untuk mencoba adalah pintu menuju kebijaksanaan."
Aku tak tahu apakah ia akan memperhatikannya. Tapi aku percaya, setiap kata yang kita tuliskan, jika disampaikan dengan tulus, bisa menjadi benih yang tumbuh di waktu yang tepat.
Belasan tahun berlalu. Hidupku terus berlanjut dengan ritme yang sama—mengajar, menjadi asesor, dan menyelesaikan pekerjaan administrasi di kantor. Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua yang kulakukan benar-benar memberikan dampak? Apakah mahasiswa-mahasiswa yang pernah kudidik mengingatku, atau mereka hanya menganggap perkuliahan sebagai rutinitas semata?
Hingga suatu pagi, aku menerima sebuah undangan. Kartika, salah satu mahasiswi yang pernah kukenal, akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar nasional. Judul yang ia bawakan menarik perhatian, karena berisi nilai-nilai pendidikan yang pernah kubahas di kelas dulu. Dengan rasa penasaran, aku memutuskan hadir di acara itu.
Saat Kartika naik ke panggung, aku hampir tak mengenalinya. Ia kini tampil begitu percaya diri, seorang profesional yang berwibawa. Dalam presentasinya, ia menyampaikan betapa pendidikan tak hanya soal angka, tapi soal membangun karakter dan keberanian berpikir.