PPP seperti mengalami kesalahan strategi dalam menetapkan target pemilih. PPP terlalu mengandalkan segmen pemilih tua sebagai segmen pemilih yang selama ini menjadi konstituen mereka yaitu masyarakat pedesaan. Sementara, profil demografi pemilih di Indonesia semakin didominasi oleh pemilih muda. PPP gagal dalam menarik hati ceruk pemilih dari generasi millenial dan generasi X.
Selain itu, basis PPP tidak kompak dalam memilih calon presiden (capres). Keputusan pada tingkat elit tidak seirama dengan aspirasi basis tingkat bawah. Pilihan warga PPP basis tingkat bawah terpecah. Sebagai partai berbasis tradisionalis islam, sebagian kadernya ada yang lebih tertarik dan sejak awal mendukung pasangan Anies-Muhaimin, sebagian juga ke Prabowo-Gibran. Bahkan muncul juga dugaan ekspresi kekecewaan dari sebagian kader yang berharap bahwa Sandiaga yang notabene Ketua Bapilu PPP dipilih menjadi Cawapres.
Pemilu Penuh Kejutan
Hajatan politik lima tahunan ini melahirkan beberapa kejutan. Kejutan pertama yaitu anomali dibalik hattrik kemenangan PDIP, serta kegagalan perdana masuk ke parlemen yang dialami salah satu partai politik "veteran" yaitu PPP.
Terkait prestasi bersejarah yang berhasil ditorehkan oleh Partai moncong putih tersebut, sebagian kalangan awal mulanya sudah menyangsikan, mungkinkah PDIP bisa mempertahankan singgasana yang telah diraih dalam 2 kali periode pemilu secara berturut. Apalagi suhu politik di internal PDIP sedang memanas setelah hubungan antara elit partai tersebut dengan Presiden Jokowi memburuk.
Faktanya, sekalipun PDIP secara Nasional masih mampu merajai hasil pemilu legislatif, namun ada kejutan politik yang berhasil menghantam mereka yaitu tergerusnya suara PDIP di basis-basis kandang banteng seperti di wilayah Jawa Tengah, Bali, NTT, dan Papua. Ini pertama kalinya Partai berlambang banteng bertekuk lutut di "kandangnya" sendiri. Â
Anomali suara PDIP juga terjadi bila membandingkan antara hasil pileg dengan pilpres. Suara PDIP yang masih merata di level Nasional dengan 16,7 % suara ternyata sangat kontras dengan hasil yang diraih oleh Ganjar-Mahfud sebagai pasangan yang diusung oleh PDIP dan koalisinya. Ganjar-Mahfud hanya memperoleh 16,5 % dan gagal memenangkan satupun provinsi. Padahal gabungan PDIP, PPP, Perindo, dan Hanura memperoleh 22,59 % sehingga terjadi selisih sekitar 6 %.
Salah satu contoh anomali suara PDIP terjadi pada Said Abdullah, calon legislatif DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI meliputi wilayah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, berhasil meraup suara terbanyak se-Indonesia yaitu sebesar 528.815 sekaligus menjadikan Madura merupakan salah satu wilayah yang dimenangkan PDIP untuk pemilu legislatif. Namun ironisnya, justru suara yang diraih oleh pasangan Ganjar-Mahfud sangat minim. Â Ini menandakan terjadinya perpecahan suara di tubuh koalisi, dan kesenjangan politik antara keputusan elit dengan pilihan grass root.
Kejutan kedua, yaitu terjadi pada kubu koalisi perubahan yang mengusung pasangan AMIN. Pada awalnya, banyak kalangan yang meyakini bahwa pasangan ini akan memberikan perlawanan politik dalam kontestasi pemilu, apalagi tagline perubahan lumayan menggema di seantero negeri. Namun faktanya tidak kalah mengejutkan, pasangan ini hanya bisa menang di daerah yang sangat kental dengan warna "islamisme"nya, yaitu daerah Aceh dan Sumatera Barat.
Anies yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta, dengan tingkat popularitas tinggi dan jumlah pengikut yang sangat banyak di wilayah tersebut, bahkan tidak mampu memenangkan pertarungan di ibu kota, suaranya kalah sangat tipis dengan pasangan 02.Â
Wilayah  BODETABEK sebagai daerah penyangga Ibu Kota, serta Jawa Barat dan Banten sebagai Provinsi terdekat pun, tidak mampu dimenangkan. Padahal daerah tersebut merupakan basis PKS yang merupakan salah satu partai pengusung pasangan AMIN.