Kemana malam ini hendak membawa aku pergi, suara bising kereta yang berjalan, lalu lalang sepeda motor dan orang-orang yang tergeletak di persimpangan jalan, semua hal-hal yang hidup dan mati seperti tidak saling mengenal. Keramaian hanya menciptakan kesibukan . Kebisuan menjadi gaya kemoderenan hingga melupakan ciri khas sebagai bangsa yang pernah menggembar-gemborkan jargon "Gotong-royong".
Dulu sewaktu masih kecil, sering kujumpai dipelataran rumah beberapa anak-anak berkumpul untuk menjalani ritual permainan klasik, beteng-betengan, engklek, gobak sodor, delik-an, dan sejenisnya. Menciptakan hubungan erat dengan sesama, satu sama lain saling mengenal, gaya komunikasi dibangun sejak dini melalui permainan yang sekarang belum pernah kutemukan lagi. Jangankan ketemu, hanya sekedar untuk melihatpun sudah tidak ada. Sungguh tragis hidup di masa kekinian, lahan untuk tempat bermain sudah digusur menjadi gedung-gedung mewah dengan dalih modernisasi.Â
Sekarang, aku berdiri diantara kebisuan berjalan langkah demi langkah menyusuri jalanan, terombang-ambing dalam tujuan. Dari pintu ke pintu hanya menjadikan diri ini ditelanjangi oleh kehidupan, dan berhentilah di sebuah warung kopi yang sangat sederhana dengan masih menggunakan  radio kuno yang diputar saluran acara wayang kulit, seorang pengunjung lelaki tua begitu antusias mendengarkan, dari kopinya panas sampai menjadi dingin belum disentuh sekalipun sejak dipesan sejam yang lalu, wajahnya tersirat kerinduannya pada tontonan warisan budaya lokal dari pada tontonan acara TV yang kebarat-baratan.
"mbok kopi satu ya, tanpa gula"
"apa tidak pahit loh nak tanpa gula itu"
"tidak mbok, yah mau gimana lagi, sudah terbiasa dengan yang pahit-pahit mbok"
"oh yo wes, kalau maunya seperti itu, si mbok nurut wae sama pembeli, kalau gak nurut nanti pada hilang pelanggannya"
"siap mbok, jangan lama-lama ya mbok kopinya"
"kamu sudah lelah berjalan nak? Sapa sang bapak tua"Â setelah acara wayang kulit sudah selesai dia mengajak ngobrol dengan gaya santai dan cepat mengakrabkan pertemanan.Â
"loh bapak kok bisa tahu, kalau aku berjalan jauh?"
"iya lah wong bapak tadi lihat kamu mondar-mandir seperti orang gak jelas, seperti orang kebingungan, jadi apa alasanmu datang minum kopi?"
"ini kopinya di minum dulu nak, ngobrol tanpa adanya kopi terasa hambar loh, hehehe" tegur si mbok karena kopi sudah dihidangkan"
"injeh mbok"
"banyak alasan saya minum kopi pak, ini sedikit puisi untuk bapak tentang kopi"
Meminum kopi aku merdeka
Meminum kopi aku mengertiÂ
Bahwa hidup bukan hanya tentang kegembiraan
Dihadapan kopi
Semua terasa sama
Tidak ada sistem kelas
Tidak ada yang menindas atau tertindas
Borjuis atau proletarÂ
Semua mendapatkan hukum yang sama
Sama-sama boleh meminumnya
Dalam seruputan kopi
Aku membongkar kegelisahan
Bersama teman-teman tentang banyak hal
Pengetahuan, kehidupan, perempuan, cinta bahkan tentang ranjang si icih sekalipun
Dalam ngopiku,
Aku bisa mengenang tentang perjuangan seorang ayah
Dia hujan kehujanan panas kepanasan demi anaknya bisa setara dengan teman-temannya walaupun kutahu ayah tak bisa melakukan itu
Dalam ngopiku, ada kerinduanku pada seorang Ibu
Tiap malam kopi menjaganya dari rasa kantukÂ
Membuat kue bolu untuk dijual pada pelangganÂ
Tanpa kenal lelah, diia sang pejuang perempuan
Membantu perekonomian keluarga
Â
Pada kopiÂ
Aku menagih janji
Tentang seorang perempuan
Yang akan menggugat cangkirÂ
Dengan bibirnya yang mungil
Â
Dan akhirnya. malam ini membawaku pergi untuk berkelana meminum kopi di tempat yang belum pernah ku kunjungi, membawaku untuk keluar dari kebiasaan.Â
Â
Diberanda, 01 Des 15
Â
          Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI