Mohon tunggu...
Jalan Raga
Jalan Raga Mohon Tunggu... Petani - Human Being

Sejauh apapun pergi, pada rumah kita kan kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jiwa adalah Nakhoda dan Raga adalah Bahtera

31 Maret 2017   03:10 Diperbarui: 1 April 2017   12:00 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ukuran besar dan kecilnya masalah menjadi amat relatif tergantung dari bagaimana anda mengenal, memahami dan memaknai persoalan yang menimpa anda dengan hati dan pikiran terbuka. Oleh karena itu menjadi amat penting untuk mengenal siapa diri kita sebenarnya, kita dimana dan akan kemana.

Kekeliruan dari tidak mengenalnya kita pada diri sendiri sebenarnya adalah akar persoalan yang membuat kita menjadi tidak terkendali, kalut, gelisah, bimbang, ragu, goyah dan tidak tenang dalam menghadapi perubahan cuaca dan gelombang.

Jika saja Nuh tidak terkendali, kalut, gelisah dan tidak tenang karena dihina, direndahkan dan dicemooh, maka tentu ia akan mendendam dan balik membalas hinaan dan cemoohan tersebut, jika saja Nuh tidak mampu mengendalikan dirinya, tentu Nuh akan stres, mengalami tekanan batin, bahkan depresi oleh situasi dan kondisi yang dialaminya.

Namun ingat ini baik-baik sahabatku, nakhoda sejati tidak akan dipengaruhi oleh gelombang dan cuaca yang selalu berubah-ubah karena ia mengetahui betul siapa dirinya, dimana ia dan akan kemana tujuan utamanya.

Nakhoda sejati tahu betul bahwa cuaca dan gelombang tidak sedikitpun mampu dirubah, karena cuaca dan gelombang adalah ketetapan (takdir) Tuhan, ia takkan pernah bisa merubah cuaca dan gelombang sekuat apapun ia berusaha untuk merubahnya.

Yang bisa dilakukan adalah merubah sudut pandang dan cara berpikir diri kita sendiri, merubah sudut pandang dan cara berpikir bahwa keinginan berlebih kitalah selama ini yang sebetulnya menjadi jeruji besi, membuat kita tidak merdeka dan tidak bahagia. Keinginan berlebih kita pada orang lain agar mereka menjadi seperti yang kita harapkanlah yang membuat hati dan pikiran menjadi sempit dan terbelenggu, keinginan berlebih kita agar tidak dihinggapi masalah yang membuat kita menjadi tidak terkendali, padahal masalah (gelombang) adalah ketetapan (takdir) Tuhan yang kapan saja bisa datang tanpa diundang.

Sebagai nakhoda yang dikarunia akal dan hati oleh Tuhan, kita tentu mampu menangkap gejala awal kenapa cuaca dan gelombang tersebut bisa terjadi, namun bukan dalam rangka merubah cuaca dan gelombang yang memang merupakan ketetapan Tuhan, karena bagaimanapun hebatnya kita, kita tetaplah manusia yang tidak akan bisa merubah cuaca dan gelombang, yang bisa kita lakukan adalah merubah cara pandang dan cara berpikir kita dalam menanggapi masalah yang hadir. Jika diluar anda dapati cuaca sedang hujan, apakah anda bisa merubah hujan menjadi tidak hujan? Atau apakah anda bisa menggeser hujan itu ke tempat lain?.

Kita takkan mampu menghentikan hujan, yang bisa kita lakukan adalah merespon positif setiap masalah dan ujian lalu merubahnya menjadi anugerah dengan bersyukur, kita merubah sudut pandang kita dalam melihat masalah bukan sebagai masalah, namun sebagai latihan-latihan pendewasaan. Kita melihat ujian bukan sebagai ujian namun bentuk cinta dan kasih sayang Tuhan pada hamba-Nya, bukankah semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin yang menerpanya, bukankah juga semakin berlayar jauh ketengah semakin besar kemungkinan gelombang pasang yang akan kita hadapi.

Karena itulah Nuh tetap merdeka sedari hati dan pikiran, tidak sedikitpun terpengaruh oleh orang lain/lingkungan, situasi dan kondisi, ia fokus pada tujuannya yaitu janji Tuhan, ia menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, memberi pemahaman tanpa berharap orang lain mengikutinya apalagi dengan jalan paksa apalagi kekerasan.

Begitulah nakhoda sejati yang mengenal betul siapa dirinya, ia adalah pengendali bagi dirinya sendiri dan menyaadari bahwa ia tidak akan mampu sedikitpun menjadi pengendali bagi jiwa (nakhoda) lain. Karena itulah ia merdeka dan bahagia, ia membebaskan dirinya dari jeruji penjara keinginan berlebih yang membuat derita, hal ini dapat dipahami sebab kesadarannya berangkat dari pemahaman kesyukuran dan keikhlasan untuk memberi dan menyampaikan pesan tanpa sedikitpun berharap balasan atas apa yang telah diberikan atau disampaikan. Inilah sebuah puncak pencapaian kesadaran tertinggi seorang nakhoda, ia tak lagi terjebak pada persoalan-persoalan timbal balik, untung rugi dan sebagainya yang bersifat materi.

Jika cuaca (orang-orang/lingkungan) mempengaruhimood kita, mencuri senyum dan canda tawa kita, kitalah yang akhirnya dikendalikan oleh cuaca. Kita seakan bergantung pada orang lain/lingkungan akhiryna, kemerdekaan dan kebahagiaan kita disetir atau dikendalikan oleh orang lain/lingkungan. Atau jika gelombang (masalah, ujian, rintangan, tantangan, musibah, bencana) membuat kita menjadi pribadi lusuh, kehilangan harapan dan keyakinan pada apapun dan siapapun, maka kitalah yang dikendalilan oleh gelombang, kita menjadi terombang ambing, mudah goyah, hilang kendali, hilang arah bahkan kehilangan tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun