Konsep kerukunan ideal dalam konteks Kalbar
Dalam konteks masyarakat Kalimantan Barat, jika berbicara tentang kerukunan umat beragama tidak terlepas dari harmonisasi antar etnis. Sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah terjadi konflik berlatar agama di Kalimantan Barat. Hal yang sebaliknya dengan etnis, pernah belasan kali terjadi pada masa silam (Edi Petebang, Dayak Sakti, 2009). Â Dalam bebeberapa konflik bernuansa etnis tersebut kita menyaksikan betapa ikatan etnis lebih kental dibanding ikatan agama.
Di Kalimantan Barat, bicara soal agama, maka identik bicara soal etnisitas. Hal ini terjadi karena etnis-etnis yang besar jumlah warganya dengan mudah teridentifikasi ke dalam agama-agama. Etnis Melayu identik dengan Islam (karena mayoritas Melayu memeluk agama Islam). Etnis Dayak identik dengan Kristen Protestan dan Katolik (karena umumnya memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik). Etnis Tionghoa identik dengan Budha dan Konghucu (karena sebagian besar memeluk agama Budha dan Konghucu).
Di dalam masing-maisng etnis tersebut ada banyak filosofi, budaya, praktek kerukunan yang mereka lakukan. Misalnya, dalam masyarakat Dayak ada lima praktek damai, rukun dalam kehidupan sehari-hari, yakni:
1.  Persahabatan lintas etnis dan agama (“ahe agi’ talino; asu’ nang atakng dibare pajuh uga’: jangankan manusia, anjing pun yang datang diberi makan—bahasa Dayak Kanayatn).
2. Â Nyawa tidak bisa diganti nyawa.
3.  Tidak dikenal hukuman mati (hukuman terburuk adalah dibuang—dipulo, tidak dianggap sebagai manusia.
4. Â Fleksibilitas dan adaptif.
5. Â Adanya hukum adat sebagai sarana penyelesaian konfllik.
Intinya, dalam konteks Kalimantan Barat, jika bicara tentang kerukunan umat beragama maka tidak bisa dilepaskan dengan persoalan etnisitas.
Kerukunan yang ideal dalam konteks Kalimantan Barat adalah kerukunan yang harmonis dalam etnis dan agamanya; kerukunan yang harmonis internal etnis dan agama serta kerukunan yang harmonis antara agama dan etnis dengan pemerintah. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.