STY harus tampilkan strategi berbeda
Tadinya saya mengira, embel-embel lolos  Olimpiade memotivasi pemain untuk mampu melampaui batas kemampuannya, setelah habis-habisan lawan untuk menang lawan Korea Selatan. Ternyata menjadi finalis dan lolos Olimpiade malah menjadi beban yang menghantui pemain timnas U-23, dan bermain buruk saat semi final melawan Uzbekitan.
Pundak terasa berat, ketika semua berharap fans timnas menginginkan sekali lagi untuk menang berturut-turut 4 kali setelah mengalahkan Australia, Yordania, Korea Selatan, dan yang keempat Uzbekistan.
Kaki seperti dibanduli dengan besi, sehingga tak mampu berlari kencang, seperti lawan Korsel, pikiran melayang-layang dengan andai-andai yang menggunung, dan menimpa setiap tubuh pemain timnas U-23 Indonesia. Andai menang bagaimana ? Andai kalah bagaimana ?
Pertanyaan terakhir seolah menjadi beban yang tak kuat dipikul 11 pemain yang berhadapan dengan Uzbekistan yang tak pernah bicara Olimpiade, tapi yakin bisa menang. Uzbekistan kondisi fisiknya  tak menurun sama sekali. Bermain luar biasa.
Anti-klimaks
Pada tulisan sebelumnya saya mengkhawatirkan penurunan performa  "Timnas U-23 Indonesia Bisa Menang", atau antiklimas, sebagai akibat mengeluarkan tenaga habis-habisan untuk mengalahkan Korea Selatan, sebagai tim yang selalu melumat Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
Mengalahkan tim superior seperti Korea Selatan butuh tenaga ekstra, motivasi superior, dan keberuntungan. Anak-anak timnas U-23 mengalami itu dan berhasil, dengan perjuangan maha berat, penuh drama dalamadu penalty yang penuh spirit.
Setelah kemenangan itu, semua puas, euphoria, dan ektase. Ektase adalah puncak kepuasan yang tiada tara, gembira, bahagia, hingga melupakan rasa sakit yang dideritanya.
Ketika ekstase itu hilang dalam sekejap, karena 2 hari kemudian harus bentrok dengan tim yang secara statistic superior yaitu Uzbekistan. Seluruh punggawa tak bisa membohongi alam bawah sadar mereka, seolah tak boleh menikmati kemenangan lebih lama lagi, tak boleh ! tak boleh !.
Ditambah lagi tuntutan masuk final, oleh orang-orang Indonesia, dan kita semua yang cinta sepak bola. Kita lupa bahwa betapa sulitnya mereka menapaki prestasi ini, setelah bertahun-tahun terendam dalam jurang dan ausnya rasa percaya diri. Rangking yang nyungsep kelihatannya tidak relevan, tetapi kenyataannya timnas sepakbola Indonesia, sampai tahun-tahun ke depan, akan selalu ditempatkan pada grup-grup kompetisi yang sulit karena harus melewati tim-tim besar lebih dahulu. Harus mengalahkan satu persatu para jagoan di kelas elit sepak bola agar menjadi "Pendekar Nomor 1" alias juara.
Kami ini tim yang baru tumbuh, debutan, dan hanya dibebankan lolos 8 besar, demi mengamankan mentor yang mereka cintai Shin Tae Yong-STY, agar terus bisa mengasah permainan enjoy dan pecaya diri yang selama ini hilang. Hanya STY yang bisa dalam waktu dekat ini, bukan besok-besok STY diganti. Ini akan membuyarkan usaha membangun diri para pemain.
Maka setelah melampaui batas, menuju semi-final. Seolah-olah anak-anak  sudah kelelahan, mau gembira menikmati kemenangan saja.
Meskipun bibir terucap mereka siap menang melawan Uzbekistan, Â tetapi fisik dan jiwa mereka tak mampu bangkit dari kelelahan. Kehebatan fisik yang dibangun beberapa waktu oleh STY, dan diteruskan di klub hanya bisa digunakan 40 persen saja. Â
Kemenangan melawan Korsel itulah final yang sebenarnya. Beban tambahan lolos ke final, dan tiket Olimpiade terlalu berat. Itu hanya bonus saja. Mungkin itu akan menjadi mudah di tahun-tahun ke depan jika pembinaan bisa konsisten.
Momentum
Semua pemangku kepentingan merasa bahwa timnas U-23 dapat momentum. Sekarang atau tidak sama sekali. Its Now or Never. Besok-besok belum tentu.
Itulah olah-raga, hanya ada juara untuk dianggap oleh lingkungannya. Tuntutan masyarakat adalah wajar-wajar saja. Masyarakat mau prestasi walaupun mungkin terlalu instan, terlalu cepat menuntutnya.
Jangan-jangan menjadi juara juga perlu belajar, membangun mental juara, bertahun-tahun mungkin, atau secepatnya. Timnas U-23 ternyata mungkin belum bisa mewujudkan secepatnya.
Masih memiliki 2 kesempatan
Untuk Lolos Olimpiade, Indonesia masih memiliki 2 kesempatan pertama lawan Irak di perebutan ketiga, atau babak Play off melawan Guenia.
Menurut saya ada satu kesempatan di Piala asia U-23, kita bisa menjadi juara 3, tidak mengangkat tropi, tetapi tetap dapat medali perunggu. Itulah prestasi untuk sementara ini yang mungkin diraih. Makanya lupakan Olimpiade jika hanya jadi beban. Besok-besok boleh itu jadi target, kecuali jika kita pesismistis, besok-besok sepak bola Indonesia tak sebagus sekarang.
Strategi melawan Irak.
Irak mungkin tak sekuat Korea Selatan, tetapi dalam pertandingan yang menentukan perebutan tempat ketiga, Indonesia maupun Irak bukanlah walau pun bukan tim yang  masing-masing lebih superior. Tetapi pasti Irak juga akan all-ot. Peluang tetap 50-50 sehingga pertandingan akan berjalan seru dan seimbang.
Syaratnya jika mau menang, Indonesia harus sudah pulih secara mental, dan recovery fisiknya berjalan dengan baik. Supaya lebih ringan sebaiknya PSSI dalam hal ini Erick Thohir tak usah bicara Olimpiade, biar anak-anak U-23 bisa bermain lepas, dan menampikan permainan terbaik sebagai syarat untuk memenangkan pertandingan.
Otak-atik Formasi dan Strategi STY
Kehilangan Rizky Ridho, sebaiknya tak perlu cemas. Masih ada Nathan Tjoe-A-On, sebagai pengganti center back, sekaligus play maker, atau Justin Hubner yang dikabarkan tetap bisa bermain meskipun kena akumulasi 2 kartu kuning.
3 pemain belakang mungkin akan ditempati Ferrari-Nathan-Hubner. Jika STY tetap percaya Komang Teguh, kemungkinan Nathan tetap dipercaya sebagai pemain nomor 6.
Kalau saya lebih ingin melihat Komang sebagai pemain nomor 6, karena punya naluri bertahan dan menyerang sama baiknya. Ini bisa jadi strategi kejutan saat lawan Irak, karena Komang pasti tidak terlalu diwaspadai lawan. Dua gol yang dicetak Komang, karena lawan terfokus dengan pemain-pemain yang lebih sering membahayakan gawang seperti Ivar Jenner, Marcelino, Nathan, dan Ridho.
Peran pemain nomor 6, mungkin saja Komang-Nathan bisa disetting bergant-ganti peran. Kenapa disetting, karena saat salah satu menjadi pemain nomor 6, maka yang satunya menjadi center back. Jika tidak maka mis-komunikasi bisa berakibat fatal, kena serangan balik.
Peran Jeam Kelly Stroyer
STY bisa memakai stategi saat menang Yordania dengan memainkan Stroyer sebagai starter, dan menjadi perusak di lini tengah, dan tiba-tiba dapat meluncur di area penyerangan.
Melawan Irak Indonesia harus meredam dengan pressure tinggi agar tidak berkembang, karena Irak adalah tim yang mapan. Gaya permainannya mirip dengan timnas seniornya. Bermain bola panjang, dan operan pendek seringkali dilakukan dengan matang. Jika dibiarkan berkembang Indonesia akan kesulitan. Satu pemain yang harus diperhatikan, karena dapat menyebabkan malapetaka adalah Ali Jasiim, yang juga bermain di timnas senior.
Mengenai barisan penyerang, tentu tidak banyak berubah. Hanya jika recovery mereka berhasil, bermain cepat  dan tenang ,  harus melupakan beban olimpiade, mereka mampu memainkan set-up-set-up serangan cepat di kotak penalty. Dengan begitu  saya kira mereka akan berhasil menjebol gawang Irak, yang terlihat kewalahan juga dengan permainan cepat dan kreatif saat melawan Thailand maupun Jepang.
Dukungan positip akan lebih berguna untuk perkembangan mereka, daripada menuntut terlalu besar, yang mengakibatkan beban psikologis yang malah mengakibatkan tidak bermain lepas dan berkembang.
Bravo timnas U-23.
Selamat menonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H