Mohon tunggu...
Jaka Sandara
Jaka Sandara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas || Digital Marketing || Publishing || Edittor ||

Suka Nulis | Baca | Ngedit | Photoshop | Jurnalistik | Otak-Atik Komputer | Musik | Publishing | Internet Marketing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Seorang Perantau

18 Desember 2022   11:15 Diperbarui: 18 Desember 2022   11:30 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Pixabay

Hayya... Tak ada lebaran tak ada Mudik, Banglades, India, Indonesia, China Tak ada Mudik. Pokoknya kerja dan kerja, biar adil semuanya". Suara itu terdengar sangat keras.

Kalimat tersebut masih terngiang di telinga Pak Zami, Tenaga Kerja asal Indonesia di Malaysia. Memang di tempat kerjanya tidak hanya orang Islam saja, tapi bercampur beberapa agama di dalamnya. Apalagi Bosnya orang china tulen yang tak mengenal bertoleransi dan yang terpenting hanyalah nisnis dan mendapatkan uang.

Terdengar suara adzan Subhuh di Masjid sebelah kontrakan Pak Zami, seiring dengan itu Handphone Pak Zami juga berdering.

"Assalamulaikum Ayah". Ternyata anak bungsu Pak Zami yang menelpon.

"Walaikumsalam Anak Ayah, Pagi-pagi sudah menelpon Ayah. Sudah Bangun?".

"iya Ayah, Zami Kangen, Semiggu lagi kan lebaran. Ayah jadikan pulang lebaran ini?". Tanya Zami dengan nada yang polos.

"iya nak, InsyaAllah ayah pulang kok".

Tak terasa Pak Zami meneteskan air mata mendengar permintaan anaknya, tak hanya berkorban banting tulang bekerja di negeri orang, tapi juga menahan perasaan rindu pada keluarga yang jauh di mata.

Seusai Shalat Subhuh berjamaah, Pak Zami kembali ke kontrakan kecilnya untuk bersiap-siap bekerja di tempat orang china tersebut. Ia duduk sejenak didepan pintu

"eh Pak Zami, kok kelihatan sedih?". Tanya Pak Andi tetangga dekatnya.

"haha, gak kok Pak Andi, gak ada sedih". Jawabnya

"saya tau Pak Zami, seperti tahun lampau kah? Tak diizinkan mudik sama Bos China itu".

"iya Pak, kemungkinan tak di izin kan Pak Cik". Jawab Pak Zami lagi.

"sudahlah Pak Zami, kita semua kan dah jadi keluarga, berhari raya di sini sajalah Pak Zami". Tawar Pak Andi

"bukan begitu Pak Cik, dah lama rasanya tak balik kampung. Dah rindu sangat sama keluarga di kampung, apalagi anak sulung saya si Zami". Terlihat mata Pak Zami berkaca-kaca menceritakan kisahnya kepada Pak Andi.

Sudah lama rasanya Pak Zami menahan rasa rindu dengan anaknya, dari mulai anaknya belum masuk sekolah sampai sekarang sudah menginjak kelas 3 SD, ingin rasanya mengantarkan anaknya ke Sekolah, tapi apa daya demi mereka jugalah pergi mencari nafkah di rantau orang. Kalau tak begini, mau dikasih apa keluarga di rumah. Seorang bapak yang hanya lulusan Sekolah Dasar.

Ia pun berangkat ke lokasi kerja, seperti biasa. Pak Zami melakukan kegiatannya sehari-hari, membuat besi yang keras dan merancangnya. Begini pekerjaan meski terik panas dan tetesan keringat ia lakukan dengan semangat dan ia pun tetap menjalankan ibadah puasa. Sungguh sosok yang luar biasa. Di tengah pekerjaan, ia menyempatkan diri menemui Bos nya untuk meminta cuti kerja.

"selamat siang, Bos". Ucap Pak Zami

"ia selamat siang, kenapa?". Tanya si Bos.

"saya minta Izin cuti lebaran Bos, sudah rindunya rasanya dengan keluarga". Ucapnya.

"tak ada cuti-cuti, oe tak kasih cuti, Islam, Kristen, bahkan hindu agama oe tak ada libur-libur ha, nanti oe kasih gaji tambahan awak, biar awak senang". Jelas Bosnya secara tegas.

"tapi Bos, 3 hari saja buat ke Indonesia. Saya dah rindu sangat dengan keluarga di kampung", ucap Pak Zami dengan nada sedih.

"tak ada, sana keja... bisa rugi oe gara-gara lu". Dengan nada cukup kesal.

Dengan hati yang kecewa, Pak Zami pergi melanjutkan kerjanya. Pupus sudah harapan menemui keluarga di Kampung. Sudah berapa tahun tidak kembali hanya berkirim uang saja. Ingin rasanya mencari Bos yang beragama Islam, agar ia tahu makna hari kemenangan. Namun China telah berkuasa.

2 Hari kemudian, pagi hari di tempat kerja

"Pak Zami, you dipanggil Bos ha". Ucap teman sejawatnya.

Ia pun bergegas menemui Bosnya, berharap Bosnya berubah fikiran dan memberikan ia izin cuti, kerana sangat pagi Bos telah memanggilnya.

"oe kasih lu cuti, tapi dengan syarat". Tawar si Bos

"Alhamdulillah yaa Allah... oke Bos Siap".  Jawab Pak Zami dengan senang hati.

"lu bikin besi ha, dalam satu hari 100 besi ha, kalau selesai. Lu besok boleh cuti ha, kalau tak selesai ha, lu tak boleh balik kampung".

Pak Zami terdiam mendengarkan tawaran Bosnya, jangankan 100 besi. 20 besi pun tak mungkin terselesai dalam satu hari. Karena membuat besi dalam satu hari hanya bisa kira-kira 10 sampai 15 besi saja. Namun Pak Zami tak menyerah, ia sanggupi permintaan Bosnya demi anak dan keluarga di kampung.

Hingga sore menjelang Pak zami baru menyelesaikan 25 besi, letih memang sangat terasa. Namun ia tetap semangat. Kawan-kawan sejawatnya sudah pada pulang. Namun ia tetap bekerja sendiri hingga malampun datang. Bahkan ia berhenti hanya menyempatkan diri untuk shalat saja. Bahkan berbuka puasa pun hanya dengan segelas air putih.

Ini yang namanya perjuangan, jam menunjuk pukul 3 pagi Pak Zami tetap bekerja. Bajunya telah basah dialiri keringat. Ia berhenti sejenak untuk bertahajjud mengadu kepada sang khalik sang maha segala maha. Ia berdoa bermunajat kepada Allah.

"ya Allah sang pelunak hati, lunakkanlah hati atasanku, kekuatanku tak bisa melebihi kekuatan seorang manusia yang lemah bahkan sangat lemah, engkau maha mengetahui yaa Rabb tuhanku, anakku menungguku di rumah, beri hamba jalan agar hamba bisa menemui keluarga yang engkau titipkan, jembatani hamba dalam kerinda'an mu Ya Allah". ia menangis bercucur airmata Pak Zami memohon doa kepada Allah SWT, hingga ia pun tertidur keletihan diatas sajadah yang sederhana.

Hingga pagi menjelang...

Pagi-pagi sekali, Bosnya telah datang. Ia kaget melihat Pak Zami ketiduran dan besi ia buat sebanyak 40 buah besi. Jauh dari target, tapi entah kenapa hati Bosnya lunak ketika melihat Pak Zami tidur keletihan di tempat kerja. Membuat besi 40 buah dalam sehari tidaklah mudah. Ia sangat mengetahui bahwa rata-rata anak buahnya hanya bisa menyelesaikan 15 dalam sehari saja. Tapi Zami orang satu-satunya yang punya kekuatan menyelesaikan 40 hari dalam sehari. Ia pun membangunkan Pak Zami yang terlelap dalam tidur. Dan Pak Zami kaget, dan langsung berdiri mengambil kapak untuk melanjutkan pekerjaannya.

"tak ada waktu lagi, tak ada waktu lagi". Ucap Pak Zami terlihat gelisah.

"sudah Pak Zami, tak usah awak lanjutkan lagi, cukup. Oe izinkan awak cuti untuk berhari raya selama 2 minggu". Ucap Bosnya.

Ia pun memeluk Bosnya dengan airmata, Bosnya juga terharu melihat peristiwa yang terjadi. Sepertinya Ia bangga memiliki anak buah seperti Pak Zami yang punya kesungguhan. Tak ketinggalan Bosnya memberikan uang tambahan sebagai rasa bangga kepada Pak Zami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun