"Bukan, aku hanya menyampaikan,"
"Intinya minta maaf?"
"Bukan, hanya menyampaikan,"
"Aku pinjam kertas dan pulpen," pintaku
Lalu kutulis puisi untukmu. Puisi yang berjudul Membatalkan Kesedihan. Aku harap puisi itu menjadi mantra yang dapat menghapus kesedihanmu yang tak jelas itu, kataku dalam hati.
Kau tersenyum dan bilang
"Aku baca di rumah saja," katamu sambil tersenyum
"Aih, kau ini. Benar-benar perempuan yang aneh,"
Kita sama-sama diam. Kau mengulangi ceritamu lagi, sedang aku berpura-pura mendengar dan menikmati kendaraan yang berlalu lalang diatas genangan warna kuning lampu kota.
Aku malas mengingat percakapan tak jelas itu. Yang benar saja. Bagaimana bisa kau menjadi otoriter terhadap perasaan seseorang. Konstruksi perasaan itu personal. Sama halnya seperti penguasa-penguasa yang eksibisionis sekarang. Seperti rektor mungkin.
Kau tahu, ada agenda baru di daftar acara wisuda: Foto bersama dengan rektor.