Kenyataan yang sebenarnya tak nyata. Aih kalimat yang susah. Tapi bagaimana jika itu memang benar-benar terjadi. Kerumitan tentang kenyataan yang sebenarnya tak nyata.
Setelah ini jalanan tak lagi berdebu. Becek. Beruntunglah jalan-jalan yang dipedulikan oleh penanggungjawab pembangunan jalan. Tak seperti beberapa jalan yang pecah dan tak dipedulikan untuk waktu yang lama, tapi bahkan diperlakukan asal oleh penganggungjawab-penanggungjawab lain.
Masih ada yang merindukan yang tak diketahuinya. Masih ada penyair-penyair yang berusaha menulis sebuah cerita. Masihada kritikus sosial dan sastra yang berusaha belajar mempertajam kritiknya. Semua masih ada. Sama halnya aku yang masih ada.
Seperti memerangkap kesenduan langit yang tak diizinkan berbintang. Aku menahan tawa melihat orang terpeleset. Tapi tetap saja setertawa apa pun rindu tetap tersangkar. Berlebihan mungkin jikalau aku menyamakannya dengan Dillema Hobbes.
Takkan terbilang lama sabakhtani pada rindu. Sebab ia ingin membunuh, bukan berusaha mempertemukan. Ya, manusia terpisah dari rindu. Rindu tak bisa mengontrol manusia, hanya saja dapat mempengaruhi manusia berbuat kejutan-kejutan yang terkadang tak jelas.
Ricik air bah dari langit itu berisik di atap. Penanda kalau ia berhenti hanya harapan. Harapan keberisikannya berkurang. Rambutku yang mulai gondrong dan bau aku acak-acak sendiri, entah karena ebiasaan atau sekedar untuk terlihat keren, tapi jujur bosan sedang benar-benar mencekikku.
Air bah dari langit itu emarin riuh rendah. Tapi itu bukan pada hari senin. Semacam rabu dan kamis mungkin. Jarang sekali hari senin.
Aku pernah membaca mitos bahwa air bah dari langit itu jarang mempunyai jadwal mencuci tanah pada hari senin. Ia tak turun kemarin senin dan sekarang selasa.
Aku masih memiirkan harus dengan cara apalagi racauku dapat berhenti dan meneruskan kegiatan menghancurkan malas. Aku masih ingat percakapan kita waktu itu, percakapan yang membuatmu terlihat menyebalkan.
"Kau bodoh," kataku
"Kenapa?"