Mohon tunggu...
Jajlife
Jajlife Mohon Tunggu... pelajar -

Setidaknya terdapat "bukti" bahwa aku pernah hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tikaman Pukul Sepuluh Malam

9 Desember 2016   00:14 Diperbarui: 9 Desember 2016   00:29 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan memang tak terlihat

Tak seperti yang terbelalak,

Mudah diterka, mudah diterjemah

Teruntuk khalayak yang menyaksikannya

Sesekali terucap sanjungan berkias

Ada pula umpatan yang begitu halus

Sampai-sampai perasaan menjadi buta makna

Mana cinta, mana derita

Ini sebuah keniscayaan

Ketika memulai jalinan asmara

Juga menciptakan pesakitan sendiri

Ini cerita saat memilihmu

Begitu berkecamuk dada ini

Bertanya seribu kali hati kecilku

Apakah benar-benar kau pilihanku?

Ataukah sekedar pariwara jiwa?

Saat itu memang belum ku tahu

Namun tekad bulatku begitu pejal

Seperti atom yang dikatakan ilmuwan

Seperti mutiara yang tak keropos selubang pun

Segala hal pada dirimu

Ku terima, seperti kado dari Tuhan

Semua gurat di parasmu

Ku anggap coretan syair alam

Hingga suatu saat...

Sekitar pukul sepuluh malam...

Kau menikamku dengan pisau dapur yang ku belikan

Sembari kau mengatakan,

Ini tak kau inginkan lagi

Segalanya dariku bukanlah yang terbaik lagi

Bahu sandaranmu ini, sudah tak empuk lagi

Kau mengatakan...

Masa depanku begitu abu-abu

Hari-hariku selanjutnya seperti tak bermentari

Malam-malamku, kau anggap lebih gelap dari biasa

Kau tak ingin berjalan lagi

Di sampingku yang bertelanjangkaki ini

Bukankah selama ini,

Ku anugerahkan alas kakiku untukmu

Ku tumpukan semangatku padamu

Ku muliakan segala ucapmu layaknya sabda

Namun,

Cukup satu malam kau putuskan

Enam tahun kebersamaan

Kau nistakan segalanya,

Seperti tak ada satupun warnaku yang putih

Kau berucap pilihanmu

Bersandar di bahu lain yang berdaging

Berjalan dengan yang lain di atas kencana emas

Bermahligai intan di masa depan

Agar tak berlarut

Ku sambangi kedua orangtuamu

Untuk ucapan segala undur diri

Sembari pisau dapur masih menancap di punggungku

Di sisi lain ku sadar diri

Bahuku terlalu kurus tuk kau bersandar

Meski itu di luar ikrar

Apa daya, realitalah pemenangnya

Mungkin hatiku lelayu

Namun akalku tak begitu bodoh

Sedihku selalu ku pertanyakan

Seperti tak pantas ku ratapkan

Akhirnya ku berkeyakinan

Ini sepucuk sajak penutup dari Tuhan

Bahwa kita berdua bahagia dengan cara berseberangan

Saat itu,

Memang seperti menelan obat yang begitu pahit

Namun ku yakin itu hanya di lidah

Namun kan menyembuhkan setelah ku telan

"Ambillah hikmahnya"

Sepertinya kata lumrah yang bosan untuk didengar

Akan tetapi, itulah hal terbaiknya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun