Perasaan memang tak terlihat
Tak seperti yang terbelalak,
Mudah diterka, mudah diterjemah
Teruntuk khalayak yang menyaksikannya
Sesekali terucap sanjungan berkias
Ada pula umpatan yang begitu halus
Sampai-sampai perasaan menjadi buta makna
Mana cinta, mana derita
Ini sebuah keniscayaan
Ketika memulai jalinan asmara
Juga menciptakan pesakitan sendiri
Ini cerita saat memilihmu
Begitu berkecamuk dada ini
Bertanya seribu kali hati kecilku
Apakah benar-benar kau pilihanku?
Ataukah sekedar pariwara jiwa?
Saat itu memang belum ku tahu
Namun tekad bulatku begitu pejal
Seperti atom yang dikatakan ilmuwan
Seperti mutiara yang tak keropos selubang pun
Segala hal pada dirimu
Ku terima, seperti kado dari Tuhan
Semua gurat di parasmu
Ku anggap coretan syair alam
Hingga suatu saat...
Sekitar pukul sepuluh malam...
Kau menikamku dengan pisau dapur yang ku belikan
Sembari kau mengatakan,
Ini tak kau inginkan lagi
Segalanya dariku bukanlah yang terbaik lagi
Bahu sandaranmu ini, sudah tak empuk lagi
Kau mengatakan...
Masa depanku begitu abu-abu
Hari-hariku selanjutnya seperti tak bermentari
Malam-malamku, kau anggap lebih gelap dari biasa
Kau tak ingin berjalan lagi
Di sampingku yang bertelanjangkaki ini
Bukankah selama ini,
Ku anugerahkan alas kakiku untukmu
Ku tumpukan semangatku padamu
Ku muliakan segala ucapmu layaknya sabda
Namun,
Cukup satu malam kau putuskan
Enam tahun kebersamaan
Kau nistakan segalanya,
Seperti tak ada satupun warnaku yang putih
Kau berucap pilihanmu
Bersandar di bahu lain yang berdaging
Berjalan dengan yang lain di atas kencana emas
Bermahligai intan di masa depan
Agar tak berlarut
Ku sambangi kedua orangtuamu
Untuk ucapan segala undur diri
Sembari pisau dapur masih menancap di punggungku
Di sisi lain ku sadar diri
Bahuku terlalu kurus tuk kau bersandar
Meski itu di luar ikrar
Apa daya, realitalah pemenangnya
Mungkin hatiku lelayu
Namun akalku tak begitu bodoh
Sedihku selalu ku pertanyakan
Seperti tak pantas ku ratapkan
Akhirnya ku berkeyakinan
Ini sepucuk sajak penutup dari Tuhan
Bahwa kita berdua bahagia dengan cara berseberangan
Saat itu,
Memang seperti menelan obat yang begitu pahit
Namun ku yakin itu hanya di lidah
Namun kan menyembuhkan setelah ku telan
"Ambillah hikmahnya"
Sepertinya kata lumrah yang bosan untuk didengar
Akan tetapi, itulah hal terbaiknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H