Oleh Jaja Jamaludin, Staf Pengajar pada Universitas Bosowa, Makassar
Dalam perspective entitas manusia, pemahaman atas eksistensi manusia setidaknya selalu menyebut dimensi jiwa dan raga. Terhadap dua dimensi yang inhern dalam diri manusia ini, hampir semua cara pandang, teori ataupun pandangan agama sekalipun tidak banyak perbedaan. Bahkan para pakar selalu menempatkan dua dimensi kemanusiaan itu dalam setiap hal yang berkait dengan diri manusia. Misalnya, saat terjadi problem fisik /raga sebut saja sakit, maka dengan sendirinya ia akan mempengaaruhi dimensi jiwa dari orang yang sedang sakit raga atau fisik. Pun demikian, ketika jiwa manusia bermasalah maka raga /fisik manusia juga akan bermasalah. Kesatuan system jiwa dan raga menjadi sangat nyata dan sulit terbantahkan. Kita bisa mengatakan pembagian entitas manusia menjadi bagian jiwa dan raga telah sangat membantu menjelaskan problematikan berkaitan dengan diri manusia.
Pertanyaan lebih jauh, ketika manusia dihadapkan dengan problem-problem peradabannya, maka perspective yang hanya menjelaskan secara sederhana jiwa dan raga tidak lagi mampu menjelaskan lebih banyak. Sebagai contoh, bagaimana manusia dituntut agar dapat melakukan perubahan perubahan positif dalam kehidupan ummat manusia. Maka manusia akan berhadapan dengan problem-problem penemuan bidang sains dan teknologi yang mampu mengubah peradaban manusia tapi pada saat yang sama muncul problem-problem residu sebagai implikasinya. Pertanyaannya adalah bagaiamana sesungguhnya potensi komprehensif manusia dalam dapat dipahami secara baik. Maka, para ahli mulai mengelaborasi tentang potensi komprehnsif yang dimiliki olah seorang manusia.
Sampai disini kita masih bisa memberikan argumentasi atas kemajuan sains dan teknologi yang berakar pada pengembangan system kecerdasan manusia, hingga duplikasi kecerdasan yang diterapkan dalam bidang teknologi. Apakah dengan kemajuan teknologi yang canggih persoalan peradaban manusia menjadi sangat sejahtera, nyaman, aman dan menggembirakan. Jawabannya sama sekali tidak. Lihat saja, bagaimana kegelisahan para pegiat moral atas kasus-kasus yang melanggar moralitas dan bahkan agama atas bias penggunakan teknologi nuklir untuk perang, teknologi informasi untuk kejahatan cyber dan banyak lagi. Kalau demikian maka terdapat sejumlah postensi diri manusia yang juga harus dikembangkan. Selain domain intelektualitas yang serign ditafsirkan sebatas domain kognif saja, ternyata tidak mampu menghadirkan paradaban yang lebih manusiawi.
Sebagai muslim, penulis, melihat bagaimana Tuhan YME telah memberikan sinyal atas pentingnya peradaban manusia yang berlandaskan pada Tata Nilai peradaban yang mulia. Oleh karenanya, kemajuan sains dan teknologi dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan harusalah dibarengi dengan menumbuhkembangkan kecerdasan-kecerdasan lain yang dianugrahkan Tuhan kepada Manusia akar setiap manusia mampu menjadi wakil Tuhan di bumi.
Pada tataran pendididkan lebih khsus di sekolah, problematika pentingnya memahami entitias anak didik sebagai pembelajar menjadi kebutuhan mutlak. Setiap anak didik sejatinya dapat bertumbuhkembang seluruh potensi diri nya secara menyeluruh. Hingga saat ini, perspektif pendidikan yang diberlakukan di sekolah-sekolah belumlah memenuhi harapan. Problemnya sangat kompleks. Akan tetapi setidaknya kita harus memulai menempatkan sebuah konsep pendidikan yang menyeluruh, tidak parsial, tidak reduskionis. Cara pandang pendidikan tersebuu saat ini dikenal dengan Paradigma Pendidikan Holistik (Holistic Education paradigm).
Tidak ada satupun dari para ahli yang menyepakati satu definisi tentang pendidikan holistic. Akan tetapi sejumlah pakar dunia telah memiliki pandangan yang relative sama dalam hal memahami substansi pendidikan holistic. Dalam Wikipedia disebutkan sebagai berikut :
Holistic education is a philosophy of education based on the premise that each person finds identity, meaning, and purpose in life through connections to the community, to the natural world, and to humanitarian values such as compassion and peace. Holistic education aims to call forth from people an intrinsic reverence for life and a passionate love of learning. This is the definition given by Ron Miller, founder of the journal Holistic Education Review (now entitled Encounter: Education for Meaning and Social Justice). The term holistic education is often used to refer to the more democratic and humanistic types of alternative education. Robin Ann Martin (2003) describes this further by stating, “At its most general level, what distinguishes holistic education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance that it places on relationships and primary human values within the learning environment.”
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Holistic_education
Berdasarkan pada definisi Ron Miller di atas, pendidikan holistic dapat diapahami sebagai sebuah cara pandang yang sangat menyeluruh atas entitas diri (jiwa dan raga) manusia. Dalam definisi ini kita bisa memahami bahwa entitas manusia diletakkan dalam 2 (dua) perspective :
- Perspective antroposentris
- Perspektive theistic
Perspektive antroposentris, menempatkan entitas manusia sebagai kerangka acuan dalam eksistensi manusia dan lingkungkungannya. Dalam perspektive ini pada gilirannya kita akan melihat bagaimana ntroposentrisme sebagai konsep utama di bidang etika lingkungan dan filsafat lingkungan dapat dengan mudah memahami problem entitas eksistensi manusia dalam interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena, eksistensi dan perilakuk manusia sering dianggap sebagai akar masalah yang tercipta dengan lingkungan. Meski begitu, antroposentrisme tertanam kuat dalam berbagai budaya manusia modern dan tindakan-tindakan sadarnya.
Dalam pendidikan holistic entitas manusia seyogyanya dipandang sebagai eksistensi makhluk hidup yang sebagaimana penciptaanya sebagai makhluk yang sempurna. Maka seluruh potensi komprehensif manusia, sejatinya dapat dikenali, dipahami dan diartikulasikan oleh manusia itu sendiri dalam kaitannya sebagai eksistensi manusia, sebagai makhluk ciptaan dan hamba Tuhan serta sebagai bagian dari ekosistem kehidupan.
Perspekitve theistic dalam pendidikan holistic menjelaskan bahwa entitas manusia sebagai hamba ciptaan Tuhan, maka relasi Relasi Tuhan dan manusia dalam dinamikanya menjadi bagian yang mempengaruhi entitas manusia. Tuhan dalam perspective pendidikan holistic tiada lain merupakan sumber Tata Nilai bagi manusia dalam membangun peradabannya.
Berdasarkan pada definisi Ron Miller di atas kita dapat memahami bahwa paradigm pendidikan holistic merupakan cara pandang komprehensif atas entitas manusia sebagai makhluk Tuhan sekaligus wakil Tuhan di bumi ini. Pendidikan holistic menginginkan setiap individu manusia sebagai subjek pembelajaran mengalami perkembangan secara proporsional atas semua dimensi yang dimiliki atau inhern dalam diri manusia. Dalam perpektive pendidikan holistic relasi vertical kepada Tuhan memiliki tempat yang sangat strategis. Ini menunjukkan bahwa paradigm pendidikan holistic bermazhab theistic, yaitu mengakui dan menyadari atas kemutlakan eksistensi Tuhannya. Pendidikan holitik juga menegaskan tentang pentingnya humanitas diantara sesama manusia, seperti kasih sayang dan perdamaian. Artinya, pendidikan yang bermazhab pada pendidikan holistic ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusian.
Bila kita elaborasi lebih jauh, paradigma pendidikan holistic manawarkan sebuah pandangan atas proses dan hasil pendidikan itu bersifat berjenjang. Pada level individu, komunitas, social, lingkungan bahkan wilayah kosmik. Ini artinya pendidikan holistic melihat entitas eksistensi manusia sebagai subjek pembelajar 360 derajat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H