Mohon tunggu...
jaja jamaludin
jaja jamaludin Mohon Tunggu... Penulis - Dosen di Universitas Bosowa

Sebagai praktisi pendidikan di Universitas Bosowa yang fokus pada pendidikan sains, fisika terapan, green technology, green energy serta agriculture. Selain itu menaruh minat pada soal-soal social, politic dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Paradigma Pendidikan Holistik itu?

25 November 2016   09:44 Diperbarui: 25 November 2016   10:03 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Jaja Jamaludin, Staf Pengajar pada Universitas Bosowa, Makassar 

Dalam perspective entitas manusia, pemahaman atas eksistensi manusia setidaknya selalu menyebut dimensi jiwa dan raga. Terhadap dua dimensi yang inhern dalam diri manusia ini, hampir semua cara pandang, teori ataupun pandangan agama sekalipun tidak banyak perbedaan. Bahkan para pakar selalu menempatkan dua dimensi kemanusiaan itu dalam setiap hal yang berkait dengan diri manusia. Misalnya, saat terjadi problem fisik /raga sebut saja sakit, maka dengan sendirinya ia akan mempengaaruhi dimensi jiwa dari orang yang sedang sakit raga atau fisik. Pun demikian, ketika jiwa manusia bermasalah maka raga /fisik manusia juga akan bermasalah. Kesatuan system jiwa dan raga menjadi sangat nyata dan sulit terbantahkan. Kita bisa mengatakan pembagian entitas manusia menjadi bagian jiwa dan raga telah sangat membantu menjelaskan problematikan berkaitan dengan diri manusia.

Pertanyaan lebih jauh, ketika manusia dihadapkan dengan problem-problem peradabannya, maka perspective yang hanya menjelaskan secara sederhana jiwa dan raga tidak lagi mampu menjelaskan lebih banyak. Sebagai contoh, bagaimana manusia dituntut agar dapat melakukan perubahan perubahan positif dalam kehidupan ummat manusia. Maka manusia akan berhadapan dengan problem-problem penemuan bidang sains dan teknologi yang mampu mengubah peradaban manusia tapi pada saat yang sama muncul problem-problem residu  sebagai implikasinya. Pertanyaannya adalah bagaiamana sesungguhnya potensi komprehensif manusia dalam dapat  dipahami secara baik. Maka, para ahli mulai mengelaborasi tentang  potensi komprehnsif yang dimiliki olah seorang manusia.

Sampai disini kita masih bisa memberikan argumentasi atas kemajuan sains dan teknologi yang berakar pada pengembangan system kecerdasan manusia, hingga duplikasi kecerdasan yang diterapkan dalam bidang teknologi. Apakah dengan kemajuan teknologi yang canggih persoalan peradaban manusia menjadi sangat sejahtera, nyaman, aman dan menggembirakan. Jawabannya sama sekali tidak. Lihat saja, bagaimana kegelisahan para pegiat moral atas kasus-kasus yang melanggar moralitas dan bahkan agama atas bias penggunakan teknologi nuklir untuk perang, teknologi informasi untuk kejahatan cyber dan banyak lagi.  Kalau demikian maka terdapat sejumlah postensi diri manusia yang juga harus dikembangkan. Selain domain intelektualitas yang serign ditafsirkan sebatas domain kognif saja, ternyata tidak mampu menghadirkan paradaban yang lebih manusiawi.   

Sebagai muslim, penulis, melihat bagaimana Tuhan YME telah memberikan sinyal atas pentingnya peradaban manusia yang berlandaskan pada Tata Nilai peradaban yang mulia. Oleh karenanya, kemajuan sains dan teknologi dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan harusalah dibarengi dengan menumbuhkembangkan kecerdasan-kecerdasan lain yang dianugrahkan Tuhan kepada Manusia akar setiap manusia mampu menjadi wakil Tuhan di bumi.

Pada tataran pendididkan lebih khsus di sekolah, problematika pentingnya memahami entitias anak didik sebagai pembelajar menjadi kebutuhan mutlak. Setiap anak didik sejatinya dapat bertumbuhkembang seluruh potensi diri nya secara menyeluruh.  Hingga saat ini, perspektif pendidikan yang diberlakukan di sekolah-sekolah belumlah memenuhi harapan. Problemnya sangat kompleks. Akan tetapi setidaknya kita harus memulai menempatkan sebuah konsep pendidikan yang menyeluruh, tidak parsial, tidak reduskionis. Cara pandang pendidikan tersebuu saat ini dikenal dengan Paradigma Pendidikan Holistik (Holistic Education paradigm).  

Tidak ada satupun dari para ahli yang menyepakati satu definisi tentang pendidikan holistic. Akan tetapi sejumlah pakar dunia telah memiliki pandangan yang relative sama dalam hal memahami substansi pendidikan holistic. Dalam Wikipedia disebutkan sebagai berikut  :

 Holistic education is a philosophy of education based on the premise that each person finds identity, meaning, and purpose in life through connections to the community, to the natural world, and to humanitarian values such as compassion and peace. Holistic education aims to call forth from people an intrinsic reverence for life and a passionate love of learning. This is the definition given by Ron Miller, founder of the journal Holistic Education Review (now entitled Encounter: Education for Meaning and Social Justice). The term holistic education is often used to refer to the more democratic and humanistic types of alternative education. Robin Ann Martin (2003) describes this further by stating, “At its most general level, what distinguishes holistic education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance that it places on relationships and primary human values within the learning environment.”

Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Holistic_education

Berdasarkan pada definisi Ron Miller di atas, pendidikan holistic dapat diapahami sebagai sebuah cara pandang yang sangat menyeluruh atas entitas diri (jiwa dan raga) manusia. Dalam definisi ini kita bisa memahami bahwa entitas manusia diletakkan dalam 2 (dua) perspective :

  • Perspective antroposentris
  • Perspektive theistic

Perspektive antroposentris, menempatkan entitas manusia sebagai kerangka acuan dalam eksistensi manusia dan lingkungkungannya. Dalam perspektive ini pada gilirannya kita akan melihat bagaimana ntroposentrisme sebagai konsep utama di bidang etika lingkungan dan filsafat lingkungan dapat dengan mudah memahami problem entitas eksistensi manusia dalam interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena, eksistensi dan perilakuk manusia sering dianggap sebagai akar masalah yang tercipta  dengan lingkungan. Meski begitu, antroposentrisme tertanam kuat dalam berbagai budaya manusia modern dan tindakan-tindakan sadarnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun