Mohon tunggu...
Angkasa Yudistira
Angkasa Yudistira Mohon Tunggu... -

Pengguna obat-obatan sesuai resep dokter sedari bayi, akibatnya rusaklah semua gigi. Jurnalis juga. Suami juga. Ayah juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Turun ke Bumi

25 Mei 2018   04:59 Diperbarui: 25 Mei 2018   05:25 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tengah dibuat sibuk suster-suster rumah sakit siang itu, sementara istri berjuang sendirian di ruang persalinan demi melahirkan jagoan yang dinantikan hasil dari perkawinan setahun silam. Alasannya, butuh penanganan khusus, jadi tak peduli suami sah atau bukan, saya tak diperkenankan masuk ruangan menemaninya.

Takbir dan kalimat-kalimat tauhid, kata Ambu mengisahkan hari bersejarah 20 September 2015, ia gelontorkan seenaknya.

"Benar juga, dari pada kau teriak 'auouo', malah dikira Tarzan nanti," kataku ke si Ambu.

"Enggak pedulilah, dibilang enggak tahu malu juga terserah. Sakit banget," jawab si Ambu tak menggubris apa yang saya bilang.

Sekitar 10 suster beserta dokter yang ada di ruang itu, sambung ceritanya, malah ketawa melihat perilakunya. Awalnya dia marah, merasa tak pantas ditertawakan sebab dia sedang bertaruh nyawa.

Tapi belakangan, si Ambu merasa bahwa itu adalah "cara" mereka untuk tetap tenang saat melayani proses persalinan yang menegangkan.

"Yaudah lah, dimaafin aja. Yang penting semua selamat dan sehat," katanya.

Dipasang alat sana-sini, entah apalah namanya isitri ku tidak tahu. Kakinya juga diikat seperti orang tak waras.

"Dokternya bilang apa? Sampai segitunya," tanyaku heran.

"Enggak apa-apa katanya, gitu aja,"

Kejadian tragis itu berujung suara tangisan bayi, ya... anakku telah hadir. Selamat datang di bumi, Anak Langit.

"Alhamdulillaaaah, Alhamdulillaaaah. Aku teriak-teriak. Lega, seneng, ingin nangis rasanya. Terus ada suster yang bilang, 'Selamat ya bu, anaknya laki-laki, ganteng dan sehat,'. Alhamdulillah lah," ujarnya mengisahkan perjuangannya. Kayak menang perang katanya.

"Langsung dibawa ke kamu? Langsung dikasih ASI?"

"Enggak. Si dokternya masih sibuk jahit-jahit. Baru lihat pas kamu dateng, terus fotoin itu. Liatnya lewat foto, burem lagi, kaca matanya enggak tahu di mana,"

Sehari setelah Langit lahir, semalaman ia memangkunya, memeluknya. Terus saya di mana ya? Kayaknya saya sibuk tidur deh. Waktu itu, iya sudah dibawa ke bidan sekitar jam 3 pagi. Sayanya yang baru pulang kerja dari pagi hari kemarinnya, langsung ke bidan. Tanpa tidur terus nemenin si Ambu hingga siang.

Karena tak bisa brojol, akhirnya harus dibawa ke rumah sakit. Terus saya urus bayar-bayar, terus saya adzanin, terus banyak yang nengok ke rumah sakit sampai malam, terus saya bilang ke kalian, inilah bentuk pembelaan kenapa saya tidur.

//////

"Ini namanya rumah, nak. Masih ngontrak. Rumah milik sendiri, punya kita, ada di situ, yang belum jadi itu," ujar ku pada Langit saat dibolehkan pulang sambil menunjukkan rumah kami yang posisinya persis di depan rumah kontrakan.

Saya memang beri tahu soal bumi berserta isinya kepadanya. Semuanya yang saya tahu, sampai hal terkecil sekalipun.

Oh, bahagia sekali, tapi Langit 'Kuning' setelah beberapa hari. Kami, saya dan Ambu, pergi ke bidan tentu, sambil membawa Langit yang 'Kuning'.

"Jemur aja. Dari jam 7 sampai jam 9. Jadi gosong enggak apa-apa, yang penting sehat. Siapa tadi namanya? Anak Langit ya? Nama anak jaman sekarang emang aneh-aneh," kata bu Bidan yang baik hati itu.

Kami tentu menuruti. Sampai tetangga justru merasa kasihan melihat kulit Langit yang menghitam. Santai kami jawabnya, disuruh bu Bidannya dijemur dua jam. Karena kata bidan, dari pada dibawa ke rumah sakit lagi, bayarnya Rp1,5 jutaan

Sebulan, dua bulan, tiga, empat, sampai tak terasa saat itu umurnya sudah hampir dua tahun. Setahun delapan bulan dan tujuh hari tepatnya. Dia sudah sekali makan, apapun kecuali es krim dan susu.

"Apa ada gigi tumbuh lagi?" si Ambu penasaran.

"Tumbuh atau tidaknya gigi baru itu, Langit memang masih proses adaptasi tinggal di bumi. Karena di surga yang ku tau banyak aneka macam buah dan dialiri sungai-sungai berisikan susu. Jadi wajar saja kalau dia cuma mau minum susu," jawabku seenaknya.

Kebon Sirih, 25 Mei 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun