Jabat erat
Ra
Itulah hubungan unik yang terjadi antara aku dengan Ra. Sejak mengenal Ra, aku tidak merasa takut lagi di Jakarta meski sesungguhnya banyak hal yang harus aku hadapi sendiri.
Aku keluar dari warnet. Siang hari, terik matahari dan debu jalanan tidak menyurutkanku. Aku berjalan dan hanya berjalan mengikuti ke mana kakiku melangkah. Ada keasyikan tersendiri ketika aku berada di toko buku. Berlama-lama membaca sampai kakiku pegal-pegal. Kadang sampai ada respon dari penjaga toko yang membanting-banting buku di dekatku. Pertanda bahwa aku harus segera pergi.
Untuk melepas lelah, hanya dengan menu paket hemat, aku bisa nyaman duduk di pojok sebuah fast food. Sambil memperhatikan berbagai macam karakter manusia yang bisa aku jadikan cerita dalam komikku. Selesai makan, aku beranjak, sasaranku adalah toko buku loak di Kwitang. Di sini aku bisa memborong buku-buku murah.
Saat melintasi lampu merah mataku menangkap anak jalanan yang menengadahkan tangannya pada orang-orang yang lewat di tempat itu. Saat kuberikan uang ribuan ke tangannya, ia tampak senang.
“Oom, foto aku, dong!” Katanya lucu sambil melihat kamera yang tergantung di pundakku. Wajah polosnya mengusik hatiku. Mungkin anak ini adalah korban keegoisan orang tua. Sama nasibnya seperti aku. Mungkin orang tuanya meninggalkannya begitu saja, hingga ia harus mengemis meminta belas kasihan orang. Mereka adalah anak-anak “yang tak pernah tersentuh cinta”. Tak ada salahnya aku mengajaknya ngobrol, mentraktirnya makan atau minum es cendol.
“Dede mau difoto?” Anak kecil itu tersenyum-senyum malu. Segera kujepretkan kameraku untuk menyenangkan hatinya. Wajahnya tampak ceria senang.
“Om, nanti kalau fotonya udah jadi, mampir ke sini,ya..aku pengin lihat fotonya “ katanya polos. Aku hanya tersenyum.
“Dede mau es cendol?”
“Heem”