Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dunia Maya - Pelangi Pucat Pasi (Bagian 16)

28 Januari 2017   21:34 Diperbarui: 28 Januari 2017   21:45 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: mansittingalone.com

Bagian 16

                  Dunia Maya

Kubuka handphoneku, ada sebuah sms dari Ra. Teman dari dunia mayaku.

“Apa kabar, Syan? Lama nggak kirim pesan. Kau baik-baik saja kan?” Aku ingat apa yang dikatakan makhluk aneh itu kalau aku akan mendapatkan teman yang belum bisa aku temui tapi kedatangannya bisa aku rasakan. Ya, ia adalah Ra. Sms-nya saja telah menyelamatkan nyawaku. Aku tak habis pikir dengan kejadian-kejadian dan semua yang kualami. Kenapa pak Edward mau membunuhku?

Beberapa hari aku tidak masuk kerja. Kucoba renungi apa yang terjadi. Kejadian-kejadian aneh itu benar-benar tidak bisa dipikir dengan nalar. Hari ini aku ingin melupakan sejenak kegiatan di kantor. Aku ingin pergi ke mana pun aku ingin menikmati waktuku. Persetan dengan deadline! Persetan!

Aku membuka Handphoneku. Ada kerinduan tersendiri saat aku membuka pesan di jejaring sosial yang dikirim Ra padaku. Bukan kerinduan seperti rindu pada kekasih. Tapi kerinduan eksklusif yang mungkin tidak mampu dipahami oleh nalar. Hubunganku dengan Ra sangat erat. Kami seperti satu nafas dengan raga yang berbeda. Perasaanku sama seperti apa yang dia  rasakan. Bahkan kami bisa merasakan ketika satu di antara kami mengalami musibah maupun kegembiraan. Pernah ada yang bilang, di dunia ini kita memiliki tujuh kembaran yang sama yang ketujuhnya bisa saja mengalami hal-hal yang sama yang mungkin tak mampu dijelaskan dengan logika. Konon kalau satu di antara kita bisa bertemu akan memiliki kekuatan yang tak terbatas. Kekuatan hati yang mungkin bisa mengalahkan segala kegelapan, dusta, dan segala macam keangkaramurkaan. Tapi kalau memang kami kembar, kenapa usia kami jauh berbeda. Dari tindakan dan sikap, Ra lebih matang dari aku. Sementara aku muda, tidak sabar, dan tergesa gesa. Mungkin hubungan kami cocok karena kami sama-sama tidak memiliki seseorang yang bisa mengerti kegelisahan-kegelisahan kami. Dan Tuhan mempertemukan kami untuk saling mengisi dan melengkapi meskipun kami berbeda usia dan segalanya. Kami bisa saling melengkapi. Kubuka pesan dari Ra.

Syan,

Apa kabarmu? Lama ga dengar cerita-ceritamu.

Ra.

Pesan singkat itu kubalas dengan cerita panjang tentang keganjilan-keganjilan yang aku alami dan inilah salah satu email yang membuat jalinan hati kami makin erat, saling membutuhkan. Saling bercerita tentang perjalanan hitam-putih hidup kami. Tanpa satupun yang kami tutupi. Kami saling percaya seolah kami adalah satu. Melebur mengarungi dunia hati yang misterius. Yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa kami yang gelisah.

Ra,

Sesungguhnya di Jakarta ini aku mencari ayahku. Ibu bilang ayahku meninggal sebulan sebelum aku lahir. Tak ada satu barang wasiat pun yang ditinggalkan ayah untukku. Bahkan fotonyapun tidak ada. Aku tidak bisa mengenal bahkan membayangkan wajah ayah seperti apa? Tapi kalau menurut tetangga dan orang-orang yang pernah dekat dengan Ibu, ayah tidak meninggal. Aku memang tidak memilikinya. Bagaimana mungkin aku lahir tanpa ayah? Ada lagi yang bilang ayahku adalah Pak Nando, manager di sebuah perusahaan Advertising. Karena kabarnya, ibuku adalah pacar gelap Pak Nando waktu bekerja di perusahaan itu.

Ra,

Kalau benar ayahku adalah Pak Nando berarti ayahku adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Ah, aku tidak boleh menuduhnya tidak bertanggung jawab. Mungkin ada hal lain yang membuatnya melupakan tanggung jawab.

Ra,

Betapa waktu kecil aku suka cemburu melihat temanku yang selalu di jemput Ayahnya. Ayahnya juga selalu khawatir, tidak boleh begini tidak boleh begitu. Saat ada masalah, temanku selalu menangis dan mengadu pada ayahnya. Sedangkan aku, tak ada laki-laki dewasa yang aku panggil ayah. Aku juga tidak mengadu pada Ibu. Ibu justru akan marah jika aku ada masalah. Ibu pasti akan bilang “Kau memang nakal seperti ayahmu.” Sekarang keinginan terbesarku adalah mencari ayahku. Entah di dunia mana, aku hanya ingin melihatnya.

Syan.

Dan pesan  yang kutulis selalu dibalasnya.

Syan,

Kuharap kamu tidak menyalahkan siapa-siapa atas kejadian-kejadian dalam hidupmu. Semuanya sudah ada yang mengatur. Aku akan selalu mendampingimu meski entah kapan kita bisa bertemu. Membaca cerita-ceritamu, aku merasa seperti orang yang paling jahat di dunia. Mungkin aku seperti ayahmu. Dulu aku tenggelam dalam kehidupan bebas. Aku dikaruniai wajah yang lumayan. Aku tak berdaya untuk menolak godaan. Bahkan aku hampir tidak bisa lepas dari dunia semu yang melelahkan.

Syan,

Mungkin tetesan sperma yang keluar dari tubuhku menjadi anak sepertimu, bahkan mungkin itu kamu. Aku tak pernah memikirkan sebelumnya. Yakinlah satu saat kau akan menemukan Ayahmu. Kalaupun kau tidak menemukannya aku yang akan mendampingimu untuk meraih semua yang menjadi cita-cita dan mimpimu.

Jabat erat

Ra

Itulah hubungan unik yang terjadi antara aku dengan Ra. Sejak mengenal Ra, aku tidak merasa takut lagi di Jakarta meski sesungguhnya banyak hal yang harus aku hadapi sendiri.

Aku keluar dari warnet. Siang hari, terik matahari dan debu jalanan tidak menyurutkanku. Aku berjalan dan hanya berjalan mengikuti ke mana kakiku melangkah. Ada keasyikan tersendiri ketika aku berada di toko buku. Berlama-lama membaca sampai kakiku pegal-pegal. Kadang sampai ada respon dari penjaga toko yang membanting-banting buku di dekatku. Pertanda bahwa aku harus segera pergi.

Untuk melepas lelah, hanya dengan menu paket hemat, aku bisa nyaman duduk di pojok sebuah fast food. Sambil memperhatikan berbagai macam karakter manusia yang bisa aku jadikan cerita dalam komikku. Selesai makan, aku beranjak, sasaranku adalah toko buku loak di Kwitang. Di sini aku bisa memborong buku-buku murah.

Saat melintasi lampu merah mataku menangkap anak jalanan yang menengadahkan tangannya pada orang-orang yang lewat di tempat itu. Saat kuberikan uang ribuan ke tangannya,  ia tampak senang.

“Oom, foto aku, dong!” Katanya lucu sambil melihat kamera yang tergantung di pundakku. Wajah polosnya mengusik hatiku. Mungkin anak ini adalah korban keegoisan orang tua. Sama nasibnya seperti aku. Mungkin orang tuanya meninggalkannya begitu saja, hingga ia harus mengemis meminta belas kasihan orang. Mereka adalah anak-anak “yang tak pernah tersentuh cinta”. Tak ada salahnya aku mengajaknya ngobrol, mentraktirnya makan atau minum es cendol.

“Dede mau difoto?” Anak kecil itu tersenyum-senyum malu. Segera kujepretkan kameraku untuk menyenangkan hatinya. Wajahnya tampak ceria senang.

“Om, nanti kalau fotonya udah jadi, mampir ke sini,ya..aku pengin lihat fotonya “ katanya polos. Aku hanya tersenyum.

“Dede mau es cendol?”

“Heem”

“Pesen sama abangnya. Nanti biar Om yang bayar.” Aku tak peduli banyak orang yang lalu lalang melihatku aneh. Minum es cendol dengan anak jalanan.

“Dede punya orang tua?” Tanyaku lagi.

“Iya..” Katanya singkat.

“Bapak kamu kerjanya di mana?” Tanyaku lagi.

“Di proyek…bangunan.” Hm…ternyata anak ini lebih beruntung dari aku. Dia memiliki orang tua tapi kenapa ia ada di jalanan.

“Lalu kenapa kamu harus ngamen?”

“ Kata bapak, aku harus kerja agar aku bisa jajan.” Katanya polos.

“Dede, sekolah.?”

“Iya… jawabnya ragu.”

“Sekolah di mana? Kelas berapa?”

“Di SD Petamburan, kelas dua.” Ternyata aku tertipu kupikir anak ini tidak memiliki keluarga. Justru orang tuanyalah yang menyuruhnya begini. Ah…aku semakin tidak mengerti dengan Jakarta.

“Om, tasnya bagus.” Katanya lucu, memegang-megang tasku. Sambil menarik-narik talinya. Kubiarkan saja ia melakukanya.

“Om, makasih ya. Udah difoto, udah dibeliin es. Aku mau ngamen lagi.”

“Ya sudah, dede hati-hati, ya.” Kataku sambil mengelus rambutnya yang kumal. Anak itu tersenyum kemudian berlalu. Saat melintasi lampu merah, masih kulihat anak itu berlari-larian dengan teman-temannya dan tertawa-tawa. Aku tak mengerti, begitu kupegang bagian belakang tasku, handphoneku sudah raib. Anjrit. Anak sialan itu sudah mengambilnya.

“Hei…!” teriakku, mencoba mengejar anak jalanan itu. Tak berapa lama aku sudah memegang tangan kecilnya dan merogoh sakunya. Benar handphone itu ada di sakunya. Anak itu tampak ketakutan dan memasang tampang memelas.

“Dede, siapa yang mengajarimu untuk mengambil handphone?” Kataku geram. Anak itu semakin ketakutan dan dari matanya mulai keluar butiran bening.

“Hey, bang jangan asal main tuduh.” Suara di belakang mengagetkanku. Seorang lelaki kurus gondrong, sudah petentang-petenteng ke arahku.

“Hey, anak mana lu? Jangan belagu jadi orang kaya.” Katanya. Aku tersenyum.

“Haha… Memangnya aku punya tampang orang kaya… Aku juga orang laper kaya elu. Cuma aku masih mau kerja. Jadi aku masih bisa makan, beli baju. Makanya jangan jadi preman. Kerja atuh…”

“Bangsat!” Laki-laki gondrong kurus kering itu tampak emosi. Darahnya sudah naik ke ubun-ubun. Tangannya di acung acungkan kearahku. Aku tak mempedulikan sumpah serapahnya. Segera aku menyebrang jalan, tak ada gunanya meladeni preman. Namun laki-laki kurus kering itu.

“Hey, berhenti!” Teriaknya sambil mengejarku. Baru saja aku menengok ke belakang. Terdengar suara rem berdecit. Entah bagaimana kejadiannya. Laki-laki preman itu sudah terkapar di bawah roda sebuah mobil. Seketika suasana menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin melihatnya. Aku segera bergegas meninggalkan tempat itu sebelum mendapat masalah baru.- Bersambung (JB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun