"Terima kasih, Galih Sukma. Kamu Sang Penolong yang dikirim Tuhan untuk kami," kata Ki Masto dengan penuh kesyukuran. Melihat Parjo sudah bisa bangun dan kini mereka semua berada di ruang tamu.
"Ah... Tidak perlu terima kasih segala. Ini, sudah menjadi kewajibanku, Ki Masto. Aku akan melakukan apa saja yang aku bisa," sahut Galih Sukma merendah.
Meski Galih Sukma menolak ucapan terima kasih akan tetapi di dalam hati mereka yang hadir telah tertanam bahwa Galih Sukma adalah Sang Penyelamat.
Belum lama mereka lega dan bergembira hatinya, Galih Sukma kembali berkata:"Tapi, ini belum selesai Ki Masto. Benar, kata almarhum Ki Rungkat. Penyakit ini dikirimkan orang yang sakit hati untuk membalas dendam."
Mendengar ucapan Galih Sukma, semua yang mendengar menjadi pucat dan ketakutan.
Tidak tega, Galih Sukma melihat hal itu.
"Tenang... Tenang. Jangan takut," lanjut Galih Sukma menenangkan dan menetralisir suasana.
Galih Sukma berpaling ke arah Ki Masto yang duduk di sebelah kirinya.
"Ki Masto, antarkan aku ke rumah Kepala Kampung Karakas! Sepertinya firasatku ada sesuatu yang besar terjadi di sana," pinta Galih Sukma lagi.
"Dan, satu lagi. Jika nanti hitunganku benar. Ki Masto akan mengirim orang kemari untuk mengajak kalian semua pergi ke rumah Kepala Kampung. Tolong patuhi dan segera lakukan jangan sampai ada orang tersisa, agar aku dengan mudah menjaga dari serangan Siluman Ular itu."
Demikianlah, setelah berbicara seperti itu, Galih Sukma berpamitan kepada Bik Surti dan Parjo dan tetangga.