Tetiba saja aku ingat dirimu. Wanita tua pengutip infaq masjid, yang berdiri di tengah jalan sepanjang Jl. Parpostel, Villa Nusa Indah, Jati Asih, Bekasi.
Bukan siapa-siapa, bukan keluarga, bukan tetangga juga.
Aku memang suka lupa tentang nama, juga anak dan istriku. Melabelimu sebagai " Nenek Perkasa Pengutip Infaq " yang setiap pagi selalu kutemui waktu mengantar anakku sulung ke sekolah.
Nenek, adalah sosok wanita bertubuh tinggi menjulang. Karena, aku pun harus mendongak kala mengansurkan sarapan pagi yang sengaja kubeli untuknya.
Wajahnya bersih, berkeriput, dengan pandangan sedikit menerawang karena ia sudah sedikit rabun.
Bercaping bulat yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya dari panas matahari pagi atau pun rinai hujan gerimis di setiap harinya.
Berbekal, sebuah serokan jaring yang besar yang ia genggam di tangan, siap menerima uluran atau lemparan koin, lembaran uang para dermawan yang berniat infaq, sodaqoh untuk pembangunan Masjid yang menugaskanya demi selembar tiga lembar puluhan ribu untuk menyambung hidupnya.
*
Nenek, aku, anakku dan istriku selalu berganti-ganti mengangsurkan, lembar rupiah, sarapan, kue, bolu, kaos, jaket atau apa pun itu, jika mengantar sekolah. Sebenarnya lebih cenderung untuk menolong dan membantumu.
Nenek Perkasa ini, ternyata adalah seorang mualaf. Persis seperti aku dan istriku. Tanpa suami dan tanpa anak kandung. Terpaksa bekerja sebagai pengutip infaq masjid demi menghidupi dirinya dan menambah uang jajan cucu angkatnya yang tidak jauh tinggal dari tempatnya kost. Kost an yang tak jauh dari posisinya berdiri mengutip infaq di setiap hari.
Hingga suatu ketika terbersit niatku yang disetuju istri dan anakku untuk mengajaknya tinggal di tepat kami.
Tepat, niat itu aku sampaikan sambil memberikan sebuah jilbab dan mukena untuknya.
Perasaanku tertusuk robek dan aku pertahananku pun runtuh sudah.
Kami menangis bersama.Â
Matanya yang sedikit rabun berkaca-kaca, suara isak tangis di antara cerita kisah hidupnya membuat keinginan kami semakin menggebu.
*
Dipertemuan berikutnya, ia bercerita betapa tugasnya sebentar lagi akan berhenti setelah Lebaranan nanti. Hingga bulatlah aku sampaikan saja niatku untuk menolongnya.
Kutawarkan kepadanya untuk tinggal di rumahku dan kuberikan modal untuk berjualan nasi uduk.Â
Rumah tabungan, lumayan bisa ditempati dan ia tidak perlu bekerja sebagai pengutip infaq lagi.
Semua biaya kehidupannya sepakat kami tanggung semua.
*
Sayang, niat kami gagal. Dengan berbagai pertimbangan.
Nenek bersedia ikut kami, dengan syarat anak angkat dan cucunya harus ikut juga.
" Maaf, Nek. Kalau menanggung itu semua, kami belum mampu," batinku sedih dalam hati.
*
Nenek Perkasa yang setiap pagi kutemui, selama hampir tiga tahun itu, saat aku harus " ngelaju " mengantar anakku yang memilih sekolah 35 kilometer jauhnya dari rumah mungil kami.
Hanya, lembaran rupiah, bungkusan mie instan, sarapan atau sekedar hadiah sembako sederhana untuk menjembatani hati kami yang jatuh kasih kepadamu.
Hingga pertemuan terakhir kami, membawa sepaket sembako untukmu, agar tepat di hari Lebaran nanti, dikau masih dapat bergembira menyambutnya.
Setelah itu, aku, istri dan anakku tidak melewati jalanan ini lagi untuk melihat dan menemuimu.
*
Nenek Perkasa Pengutip Infaq Masjid, entah siapa namamu aku lupa, apakah dirimu masih tetap berdiri di sana menanti derma?
Maaf, karena kami sudah lama sekali tidak mengunjungimu.
Oh!
Nenek, jika kisah ini terpilih. Inginnya aku ke sana menengokmu lagi, memberikan hadiah ini dan mengambil fotomu, agar menjadi kenangan manis bagi kami.
Untuk membingkai kenang tentangmu sebagai nenek perkasa tak akan pernah mati.
Selamat pagi
Jagat Alit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H