Mohon tunggu...
Jafier Viola
Jafier Viola Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Seseorang yang mau mencoba hal baru, dan tidak berhenti belajar karena sejatinya ilmu tidak berat untuk dibawa ke mana pun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

High-cost Democracy: Implikasinya Terhadap Kualitas Demokrasi di Indonesia Pasca-Pemilu 2024 dalam Kacamata Ekonomi Politik

2 Januari 2025   06:26 Diperbarui: 2 Januari 2025   06:26 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dewasa ini rasanya kita sepakat bahwa demokrasi adalah bukan tentang pemilihan umum saja, tetapi bagaimana pada akhirnya sebuah pemerintah itu berjalan dengan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg (1863), yaitu: 

"demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."

Namun, tantangan demokrasi semakin kompleks, di mana menurut Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018), sistem demokrasi kerap mati secara perlahan melalui proses demokratis itu sendiri, seperti terpilihnya pemimpin otoriter, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan terhadap oposisi, sehingga pembelajaran dari sejarah menjadi kunci untuk melindungi demokrasi dari upaya penyelewengan.

Dalam konteks Indonesia, demokrasi di Indonesia hari ini dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan saat rezim orde baru berkuasa. Namun, hal tersebut tidak serta merta menjadikan kualitas Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan banyak negara demokratis lainnya. Berikut adalah grafik indeks demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun:

Berdasarkan data dari The Economist, indeks demokrasi Indonesia menunjukkan tren yang fluktuatif tanpa perubahan signifikan, mengindikasikan bahwa kualitas demokrasi Indonesia masih berada dalam kategori yang stabil. Meski begitu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Salah satu tantangan terberat dalam perjalanan demokrasi Indonesia hari ini adalah biaya politik yang sangat mahal atau akrab disebut high-cost democracy. Tingginya biaya dalam berdemokrasi di Indonesia berakibat pada kualitas dari demokrasi itu sendiri. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi kenapa biaya politik di Indonesia hari ini bisa sangat besar. Faktor tersebut tidak hanya bersumber dari kebutuhan teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi juga dari kompleksitas politik elektoral yang memadukan kepentingan aktor-aktor politik dengan dinamika ekonomi patron-client, sebagaimana dijelaskan oleh James C. Scott dalam teorinya.

Scott, J. C. (1972)  menjelaskan bahwa hubungan patron-klien dibangun atas dasar timbal balik yang saling menguntungkan. Patron memberikan perlindungan atau sumber daya ekonomi kepada klien, sementara klien memberikan loyalitas atau dukungan politik kepada patron. Di Indonesia, pola hubungan ini terlihat jelas dalam dinamika pemilu. Patron, yang dalam hal ini adalah elit politik atau pengusaha besar, menjadi penyandang dana utama bagi kandidat. Sebagai imbalannya, kandidat yang terpilih akan memberikan akses terhadap proyek pemerintah, kebijakan yang menguntungkan, atau posisi strategis dalam birokrasi.

Dalam konteks Pemilu 2024, tingginya biaya politik terlihat nyata dalam berbagai tahapan elektoral, mulai dari pendaftaran kandidat hingga kampanye politik. Kandidat yang mencalonkan diri harus mengeluarkan dana yang besar untuk memobilisasi dukungan, baik melalui penyediaan logistik kampanye, pemasangan iklan, hingga pemberian insentif langsung kepada para pemilih dalam bentuk money politics (Rahayu & Harbowo 2023). Hal ini semakin diperparah oleh sistem politik di Indonesia yang memberikan ruang bagi oligarki untuk memainkan peran dominan dalam pembiayaan politik. Para kandidat sering kali bergantung pada sokongan finansial dari para patron yang mengharapkan keuntungan ekonomi atau akses politik sebagai imbalannya (Hakim & Muhyidin, 2022). Kondisi ini menempatkan demokrasi Indonesia dalam situasi yang rapuh, karena orientasi politik lebih banyak diarahkan untuk melayani kepentingan para patron daripada rakyat secara umum.

Studi kasus pasca Pemilu 2024 menunjukkan bagaimana praktik high-cost democracy berdampak buruk pada kualitas demokrasi di Indonesia. Sebagai gambaran sebagaimana yang dimuat oleh Hayat, W. N. (2023) dalam surat kabar CNBC Indonesia, modal untuk pencalonan legislatif itu berkisar mulai dari ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah, tergantung tingkatannya. Semakin tinggi, tingkatannya maka akan semakin besar juga ongkos politik yang harus dikeluarkan. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membiayai strategi kampanye berbasis patron-client, termasuk pemberian insentif ekonomi kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Konsekuensi dari tingginya biaya ini tidak hanya membebani kandidat, tetapi juga menciptakan ketergantungan struktural antara mereka dan para patron. Kebijakan yang dihasilkan setelah pemilu lebih banyak mencerminkan kepentingan para patron, seperti pemberian proyek infrastruktur kepada perusahaan tertentu, daripada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Selain itu, tingginya biaya politik juga berdampak pada marginalisasi kandidat yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang besar. Demokrasi yang idealnya memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu untuk berpartisipasi justru menjadi arena yang eksklusif bagi mereka yang mampu membeli dukungan politik (Darmawan, 2024). Akibatnya, masyarakat juga kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas dan independen. Situasi ini semakin diperburuk oleh lemahnya pengawasan terhadap dana kampanye serta masih maraknya praktik korupsi politik, yang sering kali dimulai sejak proses elektoral.

Dalam konteks ini, teori clientelism James C. Scott membantu menjelaskan bagaimana high-cost democracy memperkuat pola hubungan yang tidak sehat antara aktor politik dan ekonomi. Scott menggambarkan bahwa dalam sistem patron-client, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada patron yang memiliki kendali atas sumber daya, sementara klien berada dalam posisi yang subordinat. Dalam demokrasi Indonesia, para patron memanfaatkan posisi mereka untuk memengaruhi hasil pemilu, baik secara langsung melalui pembiayaan kampanye maupun secara tidak langsung melalui pengaruh ekonomi. Kandidat yang bergantung pada patron sering kali kehilangan independensinya dalam membuat kebijakan, karena harus terus memenuhi ekspektasi para patron sebagai balas jasa atas dukungan yang diberikan (Warburton & Aspinall, 2018). Untuk itu, dalam tulisan ini kita akan membedah lebih jauh terkait implikasi dari high-cost democracy terhadap kualitas demokrasi itu sendiri pasca-Pemilu 2024 dilaksanakan.

Isi dan Pembahasan

 Mahalnya ongkos politik telah menjadi salah satu isu utama yang merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Praktik ini tidak hanya terjadi sebagai strategi pragmatis untuk memenangkan pemilu tetapi telah menjadi budaya politik yang sulit dihilangkan. Tingginya biaya politik di Indonesia juga  disebabkan oleh digunakannya berbagai cara yang tidak sah oleh kandidat/tokoh untuk mencari sumber pembiayaan, sehingga berujung pada degradasi nilai-nilai demokrasi (Satriawan & Angela, 2024). Pemilu 2024 memperlihatkan bagaimana investasi politik melalui praktik politik uang terus mengakar, baik dari sisi aktor politik maupun masyarakat sebagai penerima manfaat langsung.

Money Politics sebagai Budaya yang Mengakar

Salah satu temuan utama dari kajian pasca Pemilu 2024 adalah money politics telah menjadi kebiasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat (HukumOnline, 2014). Dalam banyak kasus, masyarakat tidak hanya pasif menerima uang dari kandidat tetapi aktif mencari manfaat finansial dari proses pemilu. Hal ini menunjukkan adanya internalisasi budaya patronase, di mana kandidat bertindak sebagai patron yang menyediakan sumber daya ekonomi, sementara masyarakat berperan sebagai klien yang memberikan dukungan politik sebagai imbalannya.

Teori James C. Scott menjelaskan bahwa dalam hubungan patron-client, patron memberikan perlindungan atau sumber daya kepada klien untuk mendapatkan loyalitas. Dalam konteks Indonesia, hubungan ini diperkuat oleh kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan yang signifikan. Banyak pemilih yang merasa bahwa politik adalah arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek, bukan wadah untuk memilih pemimpin yang benar-benar kompeten (Fitriani & Chaniago, 2019). Budaya ini memperlihatkan bagaimana struktur ekonomi dan sosial masyarakat menjadi faktor kunci dalam melanggengkan praktik money politics.

Persaingan Ketat dan Investasi Besar dalam Kampanye

Selain budaya masyarakat, faktor lain yang memperkuat mahalnya ongkos politik adalah persaingan yang ketat dalam pemilu (Rahayu & Harbowo, 2023). Dalam sistem pemilu Indonesia yang kompetitif, setiap kandidat merasa perlu untuk menonjolkan diri melalui kampanye yang masif dan mahal. Investasi besar dalam kampanye sering kali dianggap sebagai langkah strategis untuk menarik perhatian pemilih, terutama di wilayah yang pemahaman politiknya masih rendah (Dirkareshza, et al., 2024).

Namun, investasi besar ini sering kali memunculkan masalah baru. Kandidat yang telah mengeluarkan biaya besar untuk kampanye biasanya akan mencari cara untuk mengembalikan modal mereka setelah terpilih. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, di mana pejabat terpilih merasa perlu memenuhi komitmen finansial kepada para sponsor atau patron yang mendukung mereka selama kampanye. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berorientasi pada kepentingan publik tetapi lebih pada kepentingan sponsor atau kelompok elit tertentu.

Kurangnya Transparansi dalam Pelaporan Dana Politik

Masalah lain yang mendukung memuluskan perilaku tercela ini adalah kurangnya transparansi dalam pelaporan biaya politik. Sistem pelaporan dana kampanye di Indonesia sering kali hanya menjadi formalitas yang tidak mencerminkan realitas di lapangan. Banyak kandidat yang menggunakan dana dari sumber tidak resmi atau tidak tercatat untuk mendanai kampanye mereka (Satriawan & Angela, (2024). 

Menurut teori clientelism, patron dalam politik modern tidak selalu beroperasi dalam struktur yang terbuka. Sebaliknya, mereka sering kali bekerja melalui jaringan informal untuk menyembunyikan aktivitas mereka. Dalam konteks Pemilu 2024, tidak sedikit laporan menunjukkan bahwa sejumlah besar dana kampanye berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas, termasuk dari pengusaha besar atau kelompok oligarki yang mengharapkan keuntungan politik dan ekonomi sebagai imbalannya (Mietzner, 2015). Transparansi yang rendah ini tidak hanya mengaburkan asal-usul dana tetapi juga memperkuat ketergantungan kandidat pada patron mereka.

Dana Kampanye dan Peran Sponsor Politik

Sponsor politik memainkan peran penting dalam dinamika high-cost democracy di Indonesia. Mereka bertindak sebagai patron yang menyediakan dana besar untuk kampanye kandidat dengan harapan mendapatkan keuntungan setelah kandidat tersebut terpilih. Peran sponsor ini seringkali melibatkan kesepakatan-kesepakatan yang bersifat transaksional, seperti pemberian proyek pemerintah atau akses terhadap kebijakan tertentu (Setiawan & Widyana, 2022).

Sejalan dengan Scott, J. C. (1972) yang menyebutkan bahwa hubungan patron-client bersifat simbiosis, di mana kedua pihak mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut. Dalam kasus Indonesia, sponsor mendapatkan akses langsung ke sumber daya publik, sementara kandidat mendapatkan dukungan finansial yang memungkinkan mereka memenangkan pemilu. Namun, hubungan ini menciptakan struktur kekuasaan yang eksklusif dan tidak demokratis. Publik seringkali kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang independen, karena kebijakan yang dihasilkan lebih mencerminkan kepentingan sponsor daripada kebutuhan masyarakat.

Dampak High-Cost Democracy terhadap Kualitas Demokrasi

High-cost democracy memiliki dampak serius terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Pertama, tingginya biaya politik menciptakan ketergantungan kandidat pada patron, yang mengurangi independensi mereka dalam mengambil keputusan. Kebijakan yang dihasilkan lebih sering mencerminkan kepentingan para patron daripada kebutuhan masyarakat umum. Kedua, high-cost democracy juga mempersempit akses bagi kandidat independen atau kandidat dengan sumber daya terbatas. Hal ini mengurangi keragaman dalam kontestasi politik dan memperkuat dominasi elit ekonomi. Akibatnya, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas dan mewakili aspirasi mereka. Ketiga, tingginya biaya politik juga mendorong praktik korupsi. Kandidat yang telah mengeluarkan dana besar selama kampanye sering kali mencari cara untuk memulihkan pengeluarannya melalui penyelewengan anggaran publik atau kebijakan yang menguntungkan sponsor politik. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, yang pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi.

Untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia, penting untuk mengurangi ketergantungan pada high-cost democracy dan mengatasi masalah patron-client dalam politik. Langkah pertama adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pembiayaan politik. Pengawasan yang ketat terhadap dana kampanye dan pembatasan donasi dari pihak tertentu dapat membantu mengurangi pengaruh patron dalam proses politik. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga penting untuk mengurangi penerimaan terhadap praktik money politics dan meningkatkan partisipasi politik yang berbasis kesadaran.

Kedua, reformasi sistem politik juga diperlukan untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi kandidat independen atau kandidat dari latar belakang non-oligarki. Sistem pemilu yang lebih inklusif dapat membantu menciptakan arena politik yang lebih adil, di mana kualitas kandidat lebih diutamakan daripada kemampuan finansial mereka. Ketiga, perlu ada penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses politik. Hal ini tidak hanya akan membantu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, tetapi juga mendorong terciptanya kebijakan yang lebih pro-rakyat.

Pada akhirnya, high-cost democracy tidak hanya menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi di Indonesia, tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi politik secara keseluruhan. Dengan mengurangi ketergantungan pada biaya politik yang tinggi dan memperkuat mekanisme akuntabilitas, Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih sehat dan berorientasi pada kepentingan publik. Pemilu 2024 seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan dan memperbaiki berbagai kelemahan dalam sistem politik Indonesia, agar demokrasi tidak lagi menjadi alat bagi segelintir elit, tetapi benar-benar menjadi milik rakyat.

Penutup

Dari penjelasan sebelumnya, dapat disepakati bahwa high-cost democracy adalah tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Dengan memahami praktik ini melalui analisis teori clientelism James C. Scott, kita dapat melihat bahwa masalah ini tidak hanya soal finansial tetapi juga tentang struktur sosial dan budaya yang telah mengakar. Jika tidak ditangani, mahalnya ongkos politik akan terus merusak kualitas demokrasi dan memperkuat oligarki politik di Indonesia. Oleh karena itu, momentum pasca Pemilu 2024 harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi menyeluruh demi menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia, penting untuk mengurangi biaya politik yang hari ini semakin tidak masuk akal dan mengatasi masalah patron-client dalam politik.

Berikut ini merupakan beberapa rekomendasi dari penulis berdasarkan hasil observasi dari berbagai sumber, di antaranya:

  1. Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas

Sistem pelaporan dana kampanye harus diperkuat dengan pengawasan yang lebih ketat. Kandidat wajib melaporkan sumber dana mereka secara transparan, dan otoritas pemilu harus memiliki mekanisme yang efektif untuk memverifikasi laporan tersebut.

  1. Mengurangi Ketergantungan pada Sponsor Politik

Batasan terhadap donasi politik dari individu atau kelompok tertentu perlu diberlakukan untuk mengurangi pengaruh sponsor dalam proses politik.

  1. Mendorong Pendidikan Politik

Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya memilih kandidat berdasarkan visi dan program kerja, bukan insentif ekonomi. Hal ini dapat membantu mengurangi penerimaan terhadap praktik money politics.

  1. Reformasi Sistem Politik

Sistem pemilu yang lebih inklusif perlu dirancang untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi kandidat independen atau kandidat dari latar belakang non-elit. Ini dapat menciptakan arena politik yang lebih adil dan kompetitif.

Daftar Pustaka

Aspinall, E. (2015). The Surprising Democratic Behemoth: Indonesia in Comparative Asian Perspective. The Journal of Asian Studies, 74, 889 - 902. https://doi.org/10.1017/S0021911815001138. 

Darmawan, I. (2024). The High Cost of Politics in Indonesia: An Exploration of Multi-perspectives from Academics, Students, Executive Officials, and Legislative Candidates. Bestuurskunde: Journal of Governmental Studies. https://doi.org/10.53013/bestuurskunde.4.2.115-127.

Dirkareshza, R., Simanjuntak, A., & Zaifa, G. (2024). Reforms of Political Finance: Strengthening Democracy by Reducing the Impact of High-Cost Politics. Bestuurskunde: Journal of Governmental Studies. https://doi.org/10.53013/bestuurskunde.4.2.87-99.

Fitriani, L. U., Karyadi, W., & Chaniago, D. S. (2019). Fenomena Politik Uang (Money Politic) Pada Pemilihan Calon Anggota Legislatif di Desa Sandik Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat. 1(1), 53--61. 

Hakim, A., & Muhyidin, M. (2022). Demokrasi dan Politik Biaya Tinggi (High Cost Politics). JOSH: Journal of Sharia. https://doi.org/10.55352/josh.v1i1.463. 

Hayat, W. N. (2023). Fantastis! Modal Jadi Caleg Bikin Syok, Butuh Segini. CNBC Indonesia. Diakses pada 30 Desember 2024, dari: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230824112116-4-465755/fantastis-modal-jadi-caleg-bikin-syok-butuh-segini. 

HukumOnline. (2014). Survei KPK: Publik Anggap Biasa Praktik Politik Uang. Diakses pada 30 Desember 2024, dari:  https://www.hukumonline.com/berita/a/survei-kpk--publik-anggap-biasa-praktik-politik-uang-lt53295e46b345f/. 

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. UK USA Canada Ireland Australia India New Zealand South Africa: Viking an imprint of Penguin Books.

Mietzner, M. (2015). Dysfunction by Design: Political Finance and Corruption in Indonesia. Critical Asian Studies, 47, 587 - 610. https://doi.org/10.1080/14672715.2015.1079991. 

Rahayu, K. Y., & Harbowo, N. (2023). Biaya Politik Caleg Hadapi Pemilu 2024 Membengkak. Kompas.Id. Diakses pada 30 Desember 2024, dari: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/12/07/biaya-politik-caleg-hadapi-pemilu-2024-membengkak. 

Satriawan, B. H., & Angela, V. F. (2024). Democracy Disrupted: High Political Costs, Transactional Politic, and Corruption.  Bestuurskunde: Journal of Governmental Studies, 4(1), 59-7. https://doi.org/10.53013/bestuurskunde.4.1.59-71. 

Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast. In Source: The American Political Science Review (Vol. 66, Issue 1). 

Setiawan, H., & Widyana, M. R. (2022). High-Cost Democracy: Stimulus Ijon Politik dalam Pemilu Lokal di Region Kaya Sumber Daya Alam. Jurnal Adhyasta Pemilu, 5(1), 1--18. https://doi.org/10.55108/jap.v5i1.90. 

Slater, D. (2023). What Indonesian Democracy Can Teach the World. Journal of Democracy, 34, 109 - 95. https://doi.org/10.1353/jod.2023.0006. 

Warburton, E., & Aspinall, E. (2018). Explaining Indonesia's Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, 41, 255 - 285. https://doi.org/10.1355/cs41-2k. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun