Selain itu, tingginya biaya politik juga berdampak pada marginalisasi kandidat yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang besar. Demokrasi yang idealnya memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu untuk berpartisipasi justru menjadi arena yang eksklusif bagi mereka yang mampu membeli dukungan politik (Darmawan, 2024). Akibatnya, masyarakat juga kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas dan independen. Situasi ini semakin diperburuk oleh lemahnya pengawasan terhadap dana kampanye serta masih maraknya praktik korupsi politik, yang sering kali dimulai sejak proses elektoral.
Dalam konteks ini, teori clientelism James C. Scott membantu menjelaskan bagaimana high-cost democracy memperkuat pola hubungan yang tidak sehat antara aktor politik dan ekonomi. Scott menggambarkan bahwa dalam sistem patron-client, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada patron yang memiliki kendali atas sumber daya, sementara klien berada dalam posisi yang subordinat. Dalam demokrasi Indonesia, para patron memanfaatkan posisi mereka untuk memengaruhi hasil pemilu, baik secara langsung melalui pembiayaan kampanye maupun secara tidak langsung melalui pengaruh ekonomi. Kandidat yang bergantung pada patron sering kali kehilangan independensinya dalam membuat kebijakan, karena harus terus memenuhi ekspektasi para patron sebagai balas jasa atas dukungan yang diberikan (Warburton & Aspinall, 2018). Untuk itu, dalam tulisan ini kita akan membedah lebih jauh terkait implikasi dari high-cost democracy terhadap kualitas demokrasi itu sendiri pasca-Pemilu 2024 dilaksanakan.
Isi dan Pembahasan
 Mahalnya ongkos politik telah menjadi salah satu isu utama yang merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Praktik ini tidak hanya terjadi sebagai strategi pragmatis untuk memenangkan pemilu tetapi telah menjadi budaya politik yang sulit dihilangkan. Tingginya biaya politik di Indonesia juga  disebabkan oleh digunakannya berbagai cara yang tidak sah oleh kandidat/tokoh untuk mencari sumber pembiayaan, sehingga berujung pada degradasi nilai-nilai demokrasi (Satriawan & Angela, 2024). Pemilu 2024 memperlihatkan bagaimana investasi politik melalui praktik politik uang terus mengakar, baik dari sisi aktor politik maupun masyarakat sebagai penerima manfaat langsung.
Money Politics sebagai Budaya yang Mengakar
Salah satu temuan utama dari kajian pasca Pemilu 2024 adalah money politics telah menjadi kebiasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat (HukumOnline, 2014). Dalam banyak kasus, masyarakat tidak hanya pasif menerima uang dari kandidat tetapi aktif mencari manfaat finansial dari proses pemilu. Hal ini menunjukkan adanya internalisasi budaya patronase, di mana kandidat bertindak sebagai patron yang menyediakan sumber daya ekonomi, sementara masyarakat berperan sebagai klien yang memberikan dukungan politik sebagai imbalannya.
Teori James C. Scott menjelaskan bahwa dalam hubungan patron-client, patron memberikan perlindungan atau sumber daya kepada klien untuk mendapatkan loyalitas. Dalam konteks Indonesia, hubungan ini diperkuat oleh kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan yang signifikan. Banyak pemilih yang merasa bahwa politik adalah arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek, bukan wadah untuk memilih pemimpin yang benar-benar kompeten (Fitriani & Chaniago, 2019). Budaya ini memperlihatkan bagaimana struktur ekonomi dan sosial masyarakat menjadi faktor kunci dalam melanggengkan praktik money politics.
Persaingan Ketat dan Investasi Besar dalam Kampanye
Selain budaya masyarakat, faktor lain yang memperkuat mahalnya ongkos politik adalah persaingan yang ketat dalam pemilu (Rahayu & Harbowo, 2023). Dalam sistem pemilu Indonesia yang kompetitif, setiap kandidat merasa perlu untuk menonjolkan diri melalui kampanye yang masif dan mahal. Investasi besar dalam kampanye sering kali dianggap sebagai langkah strategis untuk menarik perhatian pemilih, terutama di wilayah yang pemahaman politiknya masih rendah (Dirkareshza, et al., 2024).
Namun, investasi besar ini sering kali memunculkan masalah baru. Kandidat yang telah mengeluarkan biaya besar untuk kampanye biasanya akan mencari cara untuk mengembalikan modal mereka setelah terpilih. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, di mana pejabat terpilih merasa perlu memenuhi komitmen finansial kepada para sponsor atau patron yang mendukung mereka selama kampanye. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berorientasi pada kepentingan publik tetapi lebih pada kepentingan sponsor atau kelompok elit tertentu.
Kurangnya Transparansi dalam Pelaporan Dana Politik