Mohon tunggu...
Aditya Gunnarsson
Aditya Gunnarsson Mohon Tunggu... -

Seorang anak manusia yang sedang mencari jati dirinya sendiri, untuk apa ia diciptakan, makna kehidupan & sejauh apa yang bisa ia perbuat di dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

What a Wonderful World

29 Juli 2010   06:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!"

Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau berdiriri podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!

Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami. Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuhgaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok siswi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderet-deret. Hanya aku dan Jimbron pejantan disana .

"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan kiri kanan.

"Tak ada kompetisi!!"

Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.

"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"

Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas. Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi, aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku sepertigaya pembantu membilas cucian. Ah, elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!

Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada disana , hilir mudik pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.

Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!

Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik, mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian aku melesat kabur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun