"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia. Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "...
Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...."
Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anak lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi persekongkolan!!"
Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua?? Setuju dengan pendapat itu?!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kanpernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!"
Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik ini tak 'kanpernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang." Demikian jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.