Mohon tunggu...
Jabal Sab
Jabal Sab Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Menulis untuk berbagi pengetahuan, menulis untuk perubahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memberantas Korupsi di Indonesia

6 Januari 2024   05:45 Diperbarui: 6 Januari 2024   08:28 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, korupsi masih menjadi masalah besar dalam kehidupan bernegara kita. Saban hari kita mendengar pemberitaan media tentang penangkapan tersangka kasus korupsi yang terjadi mulai dari tingkat nasional hingga ke pemerintahan daerah. 

Sejak KPK berdiri hingga Desember 2022, KPK telah menangani sebanyak 1.351 kasus. Namun ternyata keberadaan KPK sendiri, belum mampu menurunkan angka korupsi di Indonesia. Berdasarkan data KPK, terdapat 2.707 laporan dugaan korupsi hanya di periode semester I 2023 saja.

Dalam aturan perundangan-undangan Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut, korupsi diartikan dengan orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Menurut sosiolog Syed Husein Alatas dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Korupsi (1983), korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma tugas dan kesejahteraan umum, yang dilakukan secara rahasia. Korupsi bisa berupa perbuatan balas jasa, keuntungan yang didapatkan itu tidaklah selalu berbentuk uang, bisa jadi berupa imbalan lainnya, mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi lahirnya keputusan-keputusan yang diambil.

Alatas menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci (key position) yang mampu memberikan inspirasi dan mempengaruhi tingkah laku yang mencegah korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, dampak dari kolonialisme (kebiasaan pemerintahan di era kolonial), kurangnya pendidikan, kemiskinan, absennya aturan penegakan hukum yang keras, lingkungan yang tidak memiliki budaya yang menggalakkan perilaku anti korupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal, serta keadaan masyarakat di daerah tersebut.

Akar Korupsi

Onghokham dalam bukunya Rakyat dan Negara (1983) mengkaji dan mengulas masalah korupsi dalam konteks Indonesia, menurutnya fenomena korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia melalui venality of power (kejahatan kekuasaan), dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian diberi jabatan atau posisi tertentu, dimana orang tersebut berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum, sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat. 

Bahkan di masa penjajahan, VOC juga melakukan hal yang sama pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Keadaan ini menunjukan bahwa baik secara umum maupun khusus dalam konteks Indonesia, korupsi mempunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat. 

Perilaku korupsi di Indonesia makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang masif di era Orde Baru yang berpaham developmentalisme, melalui penggunaan dana besar dalam bentuk pinjaman luar negeri (foreign debt). Masalah ini menjadi fenomena yang merebak luas hampir terjadi di seluruh negara berkembang yang mendorong percepatan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan.

Salah satu penyebab kemarahan publik terhadap pemerintahan rezim Orde Baru karena Soeharto sebagai presiden dianggap sebagai pemerintahan diktator bertangan besi dan turut melakukan perbuatan korupsi. Ketika terjadi peristiwa reformasi, rakyat Indonesia berharap reformasi mampu menghadirkan perubahan yang lebih baik. Rakyat berharap akan lahirnya pemerintahan baru yang demokratis serta mampu memberantas korupsi.

Harapan itu diikuti dengan pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2002, empat tahun setelah reformasi. KPK didirikan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Didirikannya KPK sebagai lembaga independen yang bertugas untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah bentuk upaya serius pemerintahan era reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun