Di Indonesia, korupsi masih menjadi masalah besar dalam kehidupan bernegara kita. Saban hari kita mendengar pemberitaan media tentang penangkapan tersangka kasus korupsi yang terjadi mulai dari tingkat nasional hingga ke pemerintahan daerah.Â
Sejak KPK berdiri hingga Desember 2022, KPK telah menangani sebanyak 1.351 kasus. Namun ternyata keberadaan KPK sendiri, belum mampu menurunkan angka korupsi di Indonesia. Berdasarkan data KPK, terdapat 2.707 laporan dugaan korupsi hanya di periode semester I 2023 saja.
Dalam aturan perundangan-undangan Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut, korupsi diartikan dengan orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Menurut sosiolog Syed Husein Alatas dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Korupsi (1983), korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma tugas dan kesejahteraan umum, yang dilakukan secara rahasia. Korupsi bisa berupa perbuatan balas jasa, keuntungan yang didapatkan itu tidaklah selalu berbentuk uang, bisa jadi berupa imbalan lainnya, mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi lahirnya keputusan-keputusan yang diambil.
Alatas menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci (key position) yang mampu memberikan inspirasi dan mempengaruhi tingkah laku yang mencegah korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, dampak dari kolonialisme (kebiasaan pemerintahan di era kolonial), kurangnya pendidikan, kemiskinan, absennya aturan penegakan hukum yang keras, lingkungan yang tidak memiliki budaya yang menggalakkan perilaku anti korupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal, serta keadaan masyarakat di daerah tersebut.
Akar Korupsi
Onghokham dalam bukunya Rakyat dan Negara (1983) mengkaji dan mengulas masalah korupsi dalam konteks Indonesia, menurutnya fenomena korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia melalui venality of power (kejahatan kekuasaan), dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian diberi jabatan atau posisi tertentu, dimana orang tersebut berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum, sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat.Â
Bahkan di masa penjajahan, VOC juga melakukan hal yang sama pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Keadaan ini menunjukan bahwa baik secara umum maupun khusus dalam konteks Indonesia, korupsi mempunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat.Â
Perilaku korupsi di Indonesia makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang masif di era Orde Baru yang berpaham developmentalisme, melalui penggunaan dana besar dalam bentuk pinjaman luar negeri (foreign debt). Masalah ini menjadi fenomena yang merebak luas hampir terjadi di seluruh negara berkembang yang mendorong percepatan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan.
Salah satu penyebab kemarahan publik terhadap pemerintahan rezim Orde Baru karena Soeharto sebagai presiden dianggap sebagai pemerintahan diktator bertangan besi dan turut melakukan perbuatan korupsi. Ketika terjadi peristiwa reformasi, rakyat Indonesia berharap reformasi mampu menghadirkan perubahan yang lebih baik. Rakyat berharap akan lahirnya pemerintahan baru yang demokratis serta mampu memberantas korupsi.
Harapan itu diikuti dengan pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2002, empat tahun setelah reformasi. KPK didirikan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Didirikannya KPK sebagai lembaga independen yang bertugas untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah bentuk upaya serius pemerintahan era reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.Â
Upaya pemberantasan korupsi diterpa persoalan besar, kredibilitas lembaga KPK tercoreng dengan beberapa peristiwa yang melibatkan penegak hukum dari tubuh KPK sendiri. Bahkan peristiwa terakhir, Firli Bahuri yang menjabat Ketua KPK ditetapkan tersangka oleh kepolisian karena diduga memeras tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi.Â
Lemahnya supremasi hukum dalam penegakan kasus korupsi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh oknum aparat penegak hukum yang diduga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi. Seharusnya perilaku jujur, bersih dan anti korupsi harus dimiliki terlebih dahulu oleh aparat penegak hukum yang menindak pidana korupsi.
Reformasi Lembaga Yudikatif
Upaya pertama yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, harus dimulai dengan reformasi di tubuh lembaga yudikatif di Indonesia. Salah satu upaya mereformasi lembaga yudikatif di Indonesia adalah dengan melakukan fit and proper test yang lebih ketat dan menyeluruh di tubuh lembaga yudikatif. Dengan diletakkannya orang-orang yang jujur, bersih dan berintegritas pada posisi-posisi kunci di lembaga yudikatif, semakin memungkinkan untuk mewujudkan lembaga yudikatif yang bersih dan independen.
Hal kedua yang perlu didorong untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dengan mewujudkan lembaga yudikatif yang independen dari politik dan kekuasaan. Mungkin idealnya lembaga yudikatif perlu didorong untuk terbebas dari intervensi atau penunjukan jabatan oleh eksekutif dan legislatif. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan jabatan hakim agung, ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Ketua KPK yang tidak perlu melibatkan lembaga legislatif dalam pengusulan dan penetapannya. Pengangkatan posisi kunci dalam lembaga yudikatif tersebut dapat dilakukan oleh internal lembaga yudikatif itu sendiri.
Hal ketiga yang perlu dilakukan untuk memastikan optimalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dengan melakukan pemeriksaan silang antar lembaga pemerintah. Hal ini dilakukan agar tidak ada lembaga yang lebih superpower dari lembaga lain. Tiap lembaga penegak hukum turut dipantau dengan lembaga lain. Dengan pengawasan yang ketat, kemungkinan besar kesempatan untuk korupsi semakin kecil.
Hal terakhir yang mungkin perlu dilakukan adalah mendirikan sekolah khusus bagi calon penyidik dan calon aparat penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi berupa sekolah tinggi atau akademi. Di dalam sekolah ini, mereka dibina dengan semangat moralitas dan etika yang tinggi.Â
Dengan penempatan khusus sejak di sekolah tinggi atau akademi, calon penyidik tindak pidana korupsi ini berada dalam lingkungan yang bersih dan belum tercemar dengan lingkungan kerja yang akrab dengan korupsi. Dengan lingkungan yang mendukung, maka akan membentuk karakter penegak hukum yang benar-benar bersih dan siap untuk memberantas korupsi tanpa tergiur tawaran untuk menerima suap atau gratifikasi, serta independen dari intervensi kekuatan politik manapun yang coba mempengaruhi. Kita semua berharap Indonesia mampu membasmi korupsi demi terwujudnya Indonesia maju yang adil dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H