Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup, ialah membiarkan pemikiran yang cemerlang menjadi budah tubuh yang malas. Yang mendahulukan istirahat sebelum lelah. ~ Buya Hamka
KECURIGAAN YANG DIUBAH OLEH KERAMAHAN DAN PERSAUDARAAN
Ada waktu dimana seseorang harus kembali ke realitas dan melihat sisi koin yang lain. Sebagai seorang anak kota, ketika saya pergi ke sebuah pesantren di pinggiran kota Tasikmalaya--tentu saya merasa sangat curiga. Keluar dari zona nyaman, dari kotak perlindungan sebuah institusi Katolik, saya terjun ke dalam kehidupan yang jauh berbeda dari keseharian saya.Â
Ekspektasi tidak sama seperti realita ketika saya tiba di Pesantren Muhammadiyah Al Furqon di Singaparna. Kecurigaan saya akan kebersihan, keramahan, sikap terhadap warga minoritas, semuanya luluh dan hilang. Pengalaman ketika saya berada di pesantren tersebut menjadi salah satu pengalaman paling khas dan rendah hati yang pernah saya alami dalam hidup saya.
Merujuk dari salah satu teman baik yang saya temui di Pesantren Al Furqon, ia mengatakan bahwa perbedaan jangan dijadikan subjek utama dari hidup bermasyarakat, namun justru kesamaan dan visi nya ke depan. Bentuk intelek seperti ini lah yang saya jumpai selama pengalaman saya di Pesantren Al-Furqon.Â
Saya menjadi sangat terharu dan terkejut melihat bahwa di luar kota pun masih ada banyak sekali talenta yang begitu pintar, bijak, dan disiplin dalam hidup maupun perkataan-perkataan dan aksinya. Teman baik saya satu ini menjadi pembimbing selama saya berada di sana. Beliau menceritakan kepada saya berbagai macam budaya dan tradisi yang harus dilakukan selama berada di Pesantren.Â
Saya belajar banyak hal darinya, namun satu yang sungguh-sungguh saya idamkan: disiplin. Disiplin mereka untuk tidak menggunakan alat gawai genggam maupun internet secara berlebihan, dedikasi mereka terhadap pembelajaran, dan kecenderungan mereka untuk menjadi lebih terbuka dan lebih berkomitmen untuk berinteraksi dengan orang luar tanpa adanya rasa curiga, itulah yang sesungguhnya menarik hati saya.
Pengalaman saya di Pondok Pesantren Al-Furqon merupakan sesuatu yang sangat membuka mata saya terhadap kehidupan di luar kota, dan sistem pendidikan yang dilalui oleh kebanyakan masyarakat di pulau Jawa. Saat saya masuk, saya mengira bahwa proses adaptasi akan menjadi sangat susah karena disparitas antara gaya hidup dan kepercayaan serta proses interaksi yang sangat berbeda.Â
Namun, saya segera dihadapkan dengan situasi yang sungguh berbeda. Pada hari pertama, saya terkagum akan disiplin dan keramahan pada saat kami turun dari bus.Â
Segera, setelah kami menaruh tas kami di ruang tidur, kami segera diajak bermain sepakbola. Sejak saat itu juga, kami merasa sangat luluh dengan mereka. Selama acara, sampai akhir kegiatan yang begitu singkat, kami pun selalu diajak berbicara, makan bersama, dan berkeliling pesantren tersebut sambil mendiskusikan berbagai macam hal.
Menurut saya, stigma bahwa sesungguhnya kehidupan di pondok pesantren yang terlihat begitu kejam dan tidak 'se-level' dengan kehidupan dengan kota, menurut saya merupakan sesuatu yang sangat tidak relevan. Justru, kehidupan di pondok pesantren adalah sesuatu yang harus kita ikuti.Â
Cara hidup mereka dan tata cara mereka beretika dalam berinteraksi dan berhadapan dengan masalah baru--dalam konteks ini, sekolah, merupakan sesuatu yang sesungguhnya harus dibawa ke kota. Saya merasakan bahwa di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, sebuah komunitas telah secara matang membuat persaudaraan yang begitu kuat, dengan visi dan misi untuk hidup yang lumayan jelas, dan komitmen untuk melindungi rakyatnya.
PESANTREN DAN PERKOTAAN, SEAKAN-AKAN PERBEDAAN SEPERTI BUMI DAN LANGIT
Opini saya adalah bahwa hal-hal ini jarang terlihat di kehidupan kota, karena sibuknya manusia, sehingga ia melupakan esensi keseharian. Hal-hal seperti merapikan tempat kerja dan tempat tidur, berdoa secara rutin, dan selalu menghargai waktu orang lain serta menghormati yang lebih tua, semuanya merupakan keutamaan dalam hidup yang seharusnya dihayati manusia beretika di dunia yang selalu berinovasi.Â
Pemikiran saya dalam pengalaman selama berada di pondok pesantren hanyalah satu: andaikan jika kita bisa membawa pulang nilai-nilai dan kegigihan pesantren balik ke kota. Saya merasa bahwa stigma yang saya sebutkan di awal merupakan sesuatu yang kurang mendalami perspektif secara langsung, dan harus diubah karena potensi santriwan dan santriwati yang begitu besar.
Stigma negatif tentang kehidupan di pesantren seringkali tidak berdasar. Justru, kehidupan di pesantren mengajarkan nilai-nilai penting seperti kedisiplinan, kerukunan, dan saling menghormati. Para santri memiliki etos kerja yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap tujuan hidup mereka. Nilai-nilai inilah yang seharusnya kita teladani, tidak hanya di pesantren, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.Â
Saya ingat sekali sebuah pepatah yang dikatakan oleh salah satu teman yang melaksanakan tahun terakhirnya di pondok pesantren tersebut. Ia mengatakan bahwa kerja itu harus selalu diselingi oleh doa.Â
Tanpa doa, seakan-akan pekerjaan menjadi sangat lama dan membosankan, menghilangkan esensi kita bersusah payah untuk melakukan sesuatu. Disiplin dalam waktu juga merupakan sesuatu yang sangat penting. Tidak seperti di kota, di mana kita seringkali merupakan bahwa waktu harus digunakan sebaik-baiknya untuk keperluan yang sepenting-pentingnya.
REFLEKSI, INTROSPEKSI, DAN PERUBAHAN PERSPEKTIF
Secara khas dan simpel, ada beberapa cara dimana saya bisa mengetahui berbagai macam perbandingan yang mencolok dari dua cara kehidupan yang telah saya alami secara pribadi. Jika kita bandingkan dengan kehidupan di kota yang serba cepat, kehidupan di pesantren terasa lebih sederhana dan penuh makna. Di kota, kita seringkali terjebak dalam rutinitas yang monoton dan teralihkan dari hal-hal yang lebih penting.Â
Sementara itu, di pesantren, kita diajarkan untuk menghargai waktu, menjaga hubungan dengan sesama, dan mengembangkan diri secara spiritual. Menurut saya, kedua perbandingan ini bisa saling melengkapi, namun tentunya dengan perbandingan dan perbedaan ini, saya menjadi tahu akan cara hidup melalui lensa lain yang bisa saya implementasikan.
Seperti laut yang tiada hentinya berombak, dan samudra nan besar yang tiada tara, begitu pula hidup kita seakan-akan seperti sebuah pulau. Hidup di sebuah pulau ini seakan-akan seperti saya, anak kota yang dididik dan diajarkan berbagai cara beretika, hidup, dan bertahan sebagai identitas saya dan aktivitas sebagai anak kota. Namun laut masih sangat luas, dan tidak hanya di sekitar pulau saya saja.Â
Hidup di luar sana masih sangat luas, dengan berbagai macam ajaran dan tata cara hidup yang sungguh berbeda. Saya tidak hanya mengapresiasi cara toleransi bisa diangkat dalam acara Ekskursi Lintas Agama 2024 ini, namun saya mengapresiasi cara saya dapat sesungguhnya melihat perspektif yang beda--bahwa diluar sana, santriwan dan santriwati Indonesia juga tidak kalah dengan anak kota.Â
Bisa dikatakan, dengan etika kerja dan disiplin mereka, mereka bisa menjadi jauh lebih baik.
Pengalaman di pesantren telah memberikan saya banyak pelajaran berharga. Saya menyadari bahwa nilai-nilai yang diajarkan di pesantren sangat relevan dengan kehidupan modern. Kita perlu menyeimbangkan kehidupan duniawi dengan kehidupan spiritual. Dengan membawa nilai-nilai positif dari pesantren, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi lebih banyak bagi masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI